Mengedepankan Solidaritas Kemanusiaan tanpa Merusak Kebhinekaan Bangsa

Jakarta – Tragedi Rohingnya di Myanmar telah menyodot perhatian publik di Tanah air. Atas nama solidaritas, banyak masyarakat menunjukkan simpati dan empatinya untuk melakukan aski turun jalan, rencana berangkat ke daerah konflik tersebut hingga upaya tidak produktif dengan menanamkan kebencian terhadap umat lain.

Sayangnya, sebagaimana diketahui, konflik kemanusiaan yang terjadi di negara bagian Rakhine ini telah dimanfaatkan oleh beberapa kelompok untuk membenturkan masyarakat di dalam negeri melalui isu sentimen keagamaan.

Direktur Eksekutif Indonesian Conference in Religion and Peace (ICRP), Muhammad Monib, mengatakan bahwa solidaritas kemanusiaan merupakan cara efektif sebagai cara pandang dalam menyikapi konflik tanpa menimbulkan sekat ideologis dan identitas masyarakat yang dapat merusak kebhinekaan bangsa. Solidaritas yang sempit justru akan membenturkan masyarakat dan menimbulkan persoalan baru di dalam negeri.

“Agama seakan menjadi bumbu penyedap saat kondisi masyarakat didominasi oleh sentimen agama. Rendahnya kualitas tabayyun, dan klarifikasi pemahaman terhadap masalah menyebabkan banyak golongan yang memperoleh keuntungan politik dengan menggunakan instrumen agama,” ujar Muhammad Monib

Lebih lanjut pria kelahiran Bangkalan ini menegaskan bahwa setiap agama sebenarnya mempunyai potensi radikal, fanatik dan ekstrimis. Namun yang perlu diperhatikan bahwa tindakan individu tidak bisa mewakili ajaran agama dan pandangan mayoritas umat yang lain.

“Sebenarnya dalam kasus Rohingya ini kita tidak perlu memusuhi umat-umat lain yang ada di Indonesia, karena kejadian ini bukan persoalan negara kita dan sangat berbahaya terhadap cara kita berbangsa yang majemuk. Jadi hal itu harus diwaspadai, masyarakat kita jangan mudah terpancing,” tegasnya.

Karenanya Monib mengajak masyarakat dalam mengekspresikan solidaritas harus mengedepankan nilai dan aksi kemanusiaan. Selain itu penting untuk mendorong keterlibatan pemerintah dan lembaga internasional seperti PBB, OKI, Negara ASEAN agar mengambil peran lebih terukur, lebih terlihat, dan lebih nyata dalam kerja diplomatik.

“Justru hal paling penting yang bisa dilakukan masyarakat adalah aksi nyata semisal bantuan real terhadap muslim Rohingya yang terdapat di penampungan. Rasanya tak akan selesai persoalan apabila hanya dengan pola-pola pendekatan, teriakan dan mengorbankan sentimen keagamaan.”ujarnya mengakhiri.