Terorisme adalah sebuah panggung teatrikal yang menampilkan aksi simbolik melibatkan lakon pelaku dan korban. Di balik aksi tersebut ada tujuan dan makna yang ingin disampaikan ke tengah publik. Kegemparan, kegaduhan, kepanikan bahkan ketakutan menjadi media agar pesan itu tersampaikan dengan cepat dan meluas. Pesan teror itu berwujud dalam bungkus motif entah itu politik, ideologis, agama, ataupun motif lainnya.
Hal lain yang patut dibincangkan selain motif dan pesan pasca teror dan ini menjadi sangat penting adalah dampak teror. Dampak teror ini bisa dibagi dalam dua aspek. Pertama, aspek langsung berupa dampak fisik, mental dan material yang diderita para korban. Kedua, aspek tidak langsung berupa dampak psiko-sosial yang diderita oleh masyarakat secara luas. Dampak langsung akan segera mendapatkan penanganan medis cepat dan pemulihan trauma yang berkelanjutan.
Persoalannya, siapa dan bagaimana menyembuhkan dampak tidak langsung yang diderita masyarakat luas pasca teror. Jika terorisme adalah media penebar ketakutan dan kepanikan, sejatinya korban aksi tersebut adalah seluruh masyarakat. Apalagi media massa dan jejaring media sosial begitu masif tanpa batas memviralkan panggung dramatis tersebut.
Dalam kontek dampak ini, saya ingin mengatakan bahwa pasca teror ada serbuan pengetahuan dan ide yang menyerang otak seluruh masyarakat tentang ketidakamanan, ketakutan, kepanikan dan kecurigaan. Sejatinya masyarakat luas juga menjadi korban dari aksi terorisme. Setidaknya ada dua dampak teror yang dapat menyerang masyarakat.
Pertama, dampak psikologis, ketakutan berlebihan akan menimbulkan penyakit paranoid. Ada gangguan pikiran berupa kecemasan dan ketakutan berlebihan yang menyebabkan masyarakat stress dengan kondisi lingkungannya. Kecemasan itu bisa karena bayangan aksi teror itu sulit dilupakan. Lokasi semisal tempat ibadah, hotel, mall, kantor polisi, dan lain menjadi wilayah yang bagi mereka menjadi kurang aman. Masyarakat akan selalu dihantui rasa takut berlebihan akibat efek psikologis teror yang selalu digemborkan.
Paranoid juga memungkinkan seseorang merasa ada ancaman dari yang lain. Jika gambaran pelaku dulu adalah seorang yang bawa ransel, sekarang menjadi luas dengan melihat ibu menggandeng anaknya, melihat motor mencurigakan, dan melihat semuanya menjadi ancaman. Tentu saja kewaspadaan sangat penting, tetapi paranoid yang berlebihan menyebakan seseorang terjangkiti virus stereotip dalam interaksi sosial. Itulah dampak berikutnya yang dapat menggangu hubungan antar masyarakat.
Kedua, dampak psiko-sosial berupa stereotip yakni pandangan terhadap individu dan kelompok berdasarkan persepsi dan menyederhanakan hal-hal yang kompleks. Stereotip menghambat interaksi sosial karena selalu mengedepankan pengalaman pada satu individu yang digeneralisir menjadi persepsi publik. Stereotip terhadap agama, etnis, dan suku tertentu dalam wacana terorisme sangat harus dihindari.
Terorisme akan dikatakan berhasil apabila sudah menanamkan ketakutan berlebihan di tengah masyarakat. Terorisme berhasil apabila ia sudah menumbuhkan kecurigaan dan stereotip terhadap individu dan kelompok berdasarkan identitas tertentu. Karena itulah, mengobati masyarakat yang tidak terkena langsung dampak terorisme juga menjadi sangat penting. Lalu apa yang harus dilakukan untuk menetralisir ketakutan dan steretip pasca teror?
Pertama, harus ada jaminan tegas dari pemerintah tentang kondisi keamanan lingkungan. Kecepatan dan ketegasan pemerintah untuk melawan terorisme sampai ke akarnya merupakan obat mujarab yang dapat menumbuhkan kepercayaan publik. Kepercayaan publik juga menjadi obat manjur pemerintah menyelesaikan persoalan. Negara harus sigap hadir di tengah masyarakat dalam menjaga keamanan dan masyarakat memberikan kepercayaan pemerintah untuk memerangi terorisme.
Kedua, melokalisir terorisme sebagai tindakan menyimpang. Artinya pelaku terorisme adalah seseorang yang sedang melakukan tindakan menyimpang dari identitas tertentu. Aksi terorisme tidak mencerminkan identitas tertentu semisal agama tertentu. Justru terorisme adalah perilaku menyimpang dari agama tersebut. Karenanya jangan ada asumsi orang memakai pakaian tertentu berarti dia patut dicurigai sebagai bagian dari pelaku teror.
Sekali lagi kewaspadaan itu penting ditingkatkan, tetapi menjaga kerukunan dan persatuan dengan tidak menimbulkan ketakutan dan kecurigaan itu lebih penting. Kewaspadaan paling tinggi adalah ketika tercipta saling percaya dan kebersamaan masyarakat. Sebaliknya sikap saling curiga dan apatis terhadap yang lain menjadi lahan subur munculnya sel baru terorisme di tengah masyarakat.