Menelusuri Jejak Toleransi: Cerita dari Tur Silaturahmi GNFI ke Katedral dan Istiqlal

Jakarta — Di tengah hiruk-pikuk ibu kota, sekelompok anak muda dari berbagai latar belakang keyakinan berkumpul bukan untuk berdemo atau beradu argumen, melainkan untuk saling mengenal—melalui Tur Silaturahmi yang digagas oleh GNFI (Good News From Indonesia), Sabtu (2/8/2025).

Tur ini bukan sekadar wisata sejarah atau kunjungan budaya. Ia adalah ruang belajar hidup bersama dalam perbedaan, dengan dua destinasi utama: Gereja Katedral Jakarta dan Masjid Istiqlal—ikon toleransi yang berdiri berdampingan di jantung Jakarta.

Perjalanan dimulai dari Katedral, bangunan megah peninggalan masa kolonial yang kini menjadi pusat Keuskupan Agung Jakarta. Di dalam museumnya, peserta diajak menyusuri jejak sejarah Katolik di Nusantara, menyaksikan film pendek tentang Katedral, hingga melihat koleksi peninggalan para pemuka agama, termasuk memorabilia dari kunjungan Paus ke Indonesia.

Pemandu bernama Mariana menjelaskan bahwa istilah Katedral berasal dari kata Latin katedra, yang berarti “takhta” atau kursi uskup—sebuah penegasan akan peran penting uskup sebagai pemimpin gereja.

Tak hanya berkeliling museum, peserta juga diberi kesempatan masuk ke area ibadah. Meski dibatasi oleh tali pembatas, ruang itu tetap membuka jendela pengalaman bagi peserta untuk merasakan suasana khas gereja, bahkan menyaksikan persiapan sakramen baptis yang akan digelar.

Dari Katedral, peserta melanjutkan perjalanan melalui Terowongan Silaturahmi—sebuah lorong penghubung bawah tanah yang bukan sekadar tempat menyeberang, melainkan simbol persahabatan dua rumah ibadah besar di Indonesia.

Di sepanjang lorong yang tak sampai 40 meter itu, diperdengarkan suara lonceng gereja dan bedug masjid secara bersamaan. Dindingnya dihiasi instalasi seni yang menggambarkan dua tangan bersalaman, melambangkan harapan akan kerukunan yang nyata.

“Terowongan ini bukan hanya penghubung fisik, tapi juga simbol ikatan spiritual dan sosial,” ujar Didi Hadian, pemandu dari pihak Masjid Istiqlal.

Sesampainya di Masjid Istiqlal, peserta tak hanya diajak menikmati kemegahan arsitekturnya—dengan kubah 45 meter dan ornamen bulan-bintang setinggi 17 meter yang merepresentasikan tanggal kemerdekaan Indonesia. Mereka juga berdiskusi tentang makna toleransi dalam kehidupan berbangsa.

Diskusi yang digelar di perpustakaan Istiqlal menghadirkan dua narasumber lintas iman: Dr. Ahmad Shaleh Amin dari Badan Pengelola Masjid Istiqlal, dan Susyana Suwadie dari Gereja Katedral.

Amin menegaskan pentingnya saling memahami antarumat beragama agar bisa bersama-sama memakmurkan bumi. “Semua agama mengajarkan kebaikan. Maka kolaborasi antarumat adalah keniscayaan, bukan pilihan,” katanya.

Sementara Susyana mengajak peserta merefleksikan Deklarasi Istiqlal, yang ditandatangani oleh Paus Fransiskus dan Imam Besar Istiqlal, Nasaruddin Umar, pada 2024 lalu. Deklarasi itu menegaskan pentingnya kerja sama lintas agama untuk merawat bumi, menyuarakan perdamaian, dan menanggulangi isu-isu global seperti kekerasan dan perubahan iklim.

“Inti toleransi adalah berbela rasa dan menjaga rumah bersama yang kita sebut bumi,” ujar Susyana menutup sesi diskusi.

Tur Silaturahmi GNFI membuktikan bahwa toleransi bukan sekadar wacana, tetapi pengalaman yang bisa dihidupkan. Melalui kunjungan, percakapan, dan rasa ingin tahu, generasi muda diajak membuka mata dan hati untuk melihat bahwa keberagaman bukan halangan, melainkan kekayaan yang harus dirawat bersama.