Jakarta – Teknologi Artificial Intelligence atau AI dengan segala bentuk terapannya, kini semakin merambah ke banyak aspek kehidupan manusia. Tanpa mengecilkan segala manfaatnya, kemudahan untuk mengakses AI ternyata menimbulkan polemik baru. Disamping dapat membuat pekerjaan semakin mudah, tanpa regulasi yang jelas AI rentan disalahgunakan untuk penyebaran disinformasi.
Ketua Umum KPTIK (Komite Penyelarasan Teknologi Informasi Komunikasi), Ir. Dedi Yudianto, MBA., menjelaskan bahwa masyarakat Indonesia perlu menyiapkan kompetensinya untuk hidup berdampingan dengan AI. Tidak hanya soal penggunaannya, publik juga perlu mengerti bahwa AI dapat diperalat untuk menyebarkan kebohongan secara cepat dan masif.
“Menghadapi AI sebagai suatu tantangan globalisasi, Indonesia perlu meningkatkan kesadaran masyarakat dan aparat keamanannya tentang potensi penggunaan AI. Karena selain untuk tujuan yang positif, kelompok teror juga mampu menggunakan AI untuk agenda mereka,” terang Dedi di Jakarta (26/7/2024).
Oleh karena itu, dirinya mengatakan agar pengembangan teknologi untuk mengidentifikasi aktivitas terorisme yang memanfaatkan AI juga perlu diperhatikan secara serius oleh Pemerintah. Kolaborasi internasional juga diperlukan dalam pertukaran informasi dan strategi, serta penguatan regulasi untuk mengawasi penggunaan AI.
Dedi selaku CEO dari Cybers Group ini menambahkan tentang perlunya monitoring aktivitas online untuk mendeteksi pola perilaku mencurigakan, serta pelatihan SDM, khususnya di bidang penegakan hukum untuk menghadapi ancaman penyalahgunaan AI secara efektif. Semua hal ini harus mulai didapatkan masyarakat Indonesia, bahkan sejak dari sekolah formal.
Terkait pelibatan Artificial Intelligence pada tindak kejahatan terorisme di dunia, Dedi mengemukakan bahwa sampai saat ini belum ada indikasi yang mengarah kesana. Namun, potensi penyalahgunaan AI tetap saja ada karena begitu mudahnya teknologi ini diakses oleh berbagai kalangan untuk beragam kepentingan.
“Sejauh ini, tidak ada bukti atau laporan yang menunjukkan pemanfaatan artificial intelligence dalam gerakan teror dalam skala internasional. Namun, kemudahan dan kecanggihannya mungkin saja menjadi ancaman dalam bentuk propaganda radikal. Pemerintah dan lembaga keamanan internasional juga perlu mengadakan penelitian terkait dengan potensi risiko ancaman teror melalui pemanfaatan AI,” ujar Dedi.
Ia mengungkapkan bahwa Artificial Intelligence memiliki banyak teknologi terapan, diantaranya adalah Chatbot dan Deepfake. Kekhawatiran bahwa keduanya juga memiliki potensi untuk disalahgunakan untuk pembuatan narasi atau propaganda yang menyesatkan menjadi semakin relevan.
Menurut Dedi, penggunaan Deepfake yang dapat membuat video palsu sulit dibedakan dari yang asli, dapat memperburuk masalah disinformasi dan propaganda. Hal ini tentu akan sangat meresahkan jika masyarakat Indonesia belum bisa menyikapi informasi yang datang dengan lebih bijak dan tidak hanya percaya dari satu sumber saja.
Begitu juga teknologi Chatbot yang dapat digunakan untuk menyebarkan pesan otomatis yang merugikan. Misalnya saja dengan melakukan disinformasi secara masal melalui chatbot, yang berisi black campaign pada salah satu pihak untuk menjatuhkan citranya. Dedi berharap, Pemerintah Indonesia melalui lembaga terkait perlu aktif dalam mengawasi dan mengantisipasi potensi penyalahgunaan teknologi ini.
Menurut Dedi, membedakan antara konten yang dibuat oleh kecerdasan buatan (AI) dan yang tidak menggunakan AI relatif sulit. Beberapa petunjuk yang dapat digunakan dengan melihat kualitas yang sangat baik dan konsistensi visual dari konten AI, serta kejanggalan dalam konteks atau logika yang disampaikan.
“Verifikasi sumber dan penggunaan alat deteksi lainnya bisa saja memberikan petunjuk tambahan, meskipun belum ada metode yang definitif untuk membedakannya dengan pasti, seiring dengan perkembangan teknologi,” imbuhnya.
Ketua Pelaksana Jurnalis Kebangsaan Mahasiswa ini juga merasa perlunya materi pengenalan AI dimasukkan dalam kurikulum formal di bangku sekolah Indonesia. Menurutnya, AI semakin mempengaruhi banyak aspek kehidupan, dari teknologi hingga pekerjaan.
Dengan memasukkan AI ke dalam kurikulum sekolah, siswa dapat memahami dasar-dasar teknologi ini, etika penggunaannya, serta persiapan untuk masa depan di dunia yang semakin terhubung dan serba digital.
Hadirnya AI juga menjadi disrupsi tersendiri bagi ranah penegakan hukum, tidak hanya di Indonesia, namun juga di seluruh dunia. Sebabnya, AI dapat mendukung berbagai tindak kejahatan yang belum sepenuhnya terawasi oleh kemampuan deteksi para penegak hukum dan analisis forensik.
“Semua hal, termasuk AI, memerlukan regulasi yang tepat dan pemahaman yang mendalam akan implikasi pada etika serta privasi seluruh pihak yang terlibat dalam penggunaannya. Hadirnya AI dalam hidup kita adalah keniscayaan, mau tidak mau kita harus mengikuti trend yang sangat cepat,” pungkas Dedi.