Cirebon – Swa-radikalisasi atau meradikalisasi diri secara mandiri masih menjadi fenomena yang terjadi di kalangan anak muda. Jumlahnya memang tidak banyak, namun potensi kerusakan dan jatuhnya korban jiwa berkat swa-radikalisasi begitu besar hingga sesat pikir ini tidak sepatutnya diabaikan oleh siapapun.
Guru Besar Sejarah Peradaban Islam IAIN Syekh Nurjati Cirebon, Prof. KH. Didin Nurul Rosidin, M.A., PhD., menjelaskan bahwa penting untuk mewadahi generasi muda dalam suatu komunitas tertentu. Menurutnya, sangat bagus apabila ada inisiatif-inisiatif seperti ini sebagai upaya membangun kesadaran akan bahaya terorisme di tengah masyarakat.
“Selama ini anak-anak muda hanya tahu bahwa terorisme itu adanya di televisi, misalnya ketika terjadi penangkapan dan disiarkan. Padahal terorisme tidak sesederhana itu. Bisa jadi mereka tidak sadar bahwa di sekitar anak-anak ini, misalnya di sekitar lingkungan, atau bahkan di dalam rumahnya sendiri sudah ada proses radikalisasi terhadap mereka. Para anak muda seringkali tidak menyadarinya,” ungkap Prof. Didin, Selasa (6/8/2024).
Menurutnya, kegiatan-kegiatan yang menjawab kebutuhan edukasi generasi muda tentang bahayanya radikalisme dan terorisme sebenarnya sudah berjalan cukup lama. Beberapa program yang diinisiasi oleh Badan Nasional Penanggulangan Terorisme atau BNPT, seperti Duta Damai dan Sekolah Damai, hadir untuk mewadahi generasi muda dan agar jangan terjadi kekosongan pengetahuan akan bahaya laten ideologi transnasional.
Dengan adanya Sekolah Damai atau Duta Damai, kata Prof Didin, akan menjadi sarana yang sangat efektif dalam pencegahan radikalisme dan terorisme di kalangan anak muda. Hal yang selanjutnya perlu diperhatikan adalah sejauh mana sosialisasi telah berjalan agar masyarakat tersentuh oleh program-program seperti ini.
“Karena memang sekarang itu zamannya gadget, dan pola pikir sekarang terkadang jika belum viral, maka belum dikenal. Istilahnya itu, no viral, no justice ataupun no viral, no consciousness. Tidak viral maka tidak ada keadilan atau kesadaran. Maka perlu juga untuk ditambah lagi sosialisasi, dan promosi berbagai program penanggulangan radikalisme terorisme, seperti Duta Damai dan Sekolah Damai ini,” terang Prof. Didin.
Akademisi yang pernah menjabat Wakil Direktur Pascasarjana IAIN Syekh Nurjati Cirebon ini menambahkan pula perlunya terus meningkatkan pengetahuan, terlepas dari tingkatan umur ataupun latar belakang lainnya. Menurutnya, segala pengetahuan yang baik, termasuk ilmu agama, adalah pengetahuan yang bersumber dari sumber yang otoritatif dan bisa tervalidasi kebenarannya.
“Dengan bersandar pada sumber keilmuan yang valid, sebenarnya kita sedang mengamalkan salah satu prinsip dalam epistemologi Islam. Manakala kita mempelajari sesuatu yang tidak diketahui otoritas dan validitasnya, cepat atau lambat kita akan tersesat. Bentuk kesesatan inilah yang seringkali menjadikan seseorang merasa benar sendiri. Ketika dia berpikir demikian, alih-alih sedang belajar, orang seperti ini justru menjadi Tuhan bagi dirinya sendiri (monopoli kebenaran),” tambah Prof. Didin.
Dirinya berpendapat, apa yang dilakukan oleh gerakan radikal adalah seringkali mengambil sesuatu tanpa memastikan apakah ini otoritatif atau tidak. Padahal, kebenaran datang pada orang yang memiliki pemikiran terbuka tentang berbagai kemungkinan. Orang yang terbuka pemikirannya adalah yang selalu mencoba dalam hidupnya untuk membangun sumber-sumber yang otoritatif dan juga bisa dipastikan validitasnya.
Prof Didin menilai bahwa kesadaran untuk mencari sanad atau jalur ilmu yang valid sebenarnya tidak diterapkan hanya ketika belajar agama, ilmu-ilmu lain pun demikian adanya. Khusus dalam ranah ilmu agama, yang seringkali terkait dengan sisi emosi dan keyakinan orang atau pihak tertentu akan kebenaran, maka unsur otoritas dan validitas sangat ditekankan termasuk dalam hal sanad.
“Dalam Islam, tidak semua sanad bisa diakui atau diambil. Andaikata kita berguru kepada seseorang, maka kita juga harus tahu secara jelas siapa gurunya orang tersebut dan sebagainya. Tradisi sanad dalam dunia Islam adalah pondasi paling awal dalam hakikat mencari ilmu. Ketika bicara tentang epistemologi Islam, maka satu hal yang paling fundamental adalah unsur sanad dari ilmu yang dipelajari,” imbuhnya.
Dengan semakin disosialisasikannya program-program kontraradikalisme dan kontraterorisme, Prof. Didin pun berharap generasi muda Indonesia semakin resisten dengan propaganda bermuatan ideologi transnasional. Anak-anak, remaja, hingga masyarakat secara luas perlu melibatkan dirinya untuk membangun ketahanan diri yang baik terhadap paham radikal. Secara tidak langsung, hal ini juga akan menunjukkan rasa memiliki yang kuat dari rakyat Indonesia terhadap bangsanya sendiri.
“Kesadaran membangun resistensi ini tidak bisa hanya ditimpakan kepada BNPT, lembaga pemerintah lainnya, atau bahkan kepada para kiai dan para ulama, tetapi juga harus menjadi kesadaran bersama seluruh masyarakat agar Islam yang rahmatan lil ‘alamin itu bisa benar-benar terwujud. Jika memungkinkan, tidak hanya di Indonesia namun juga di seluruh dunia,” pungkas Prof Didin yang pernah satu pesantren dengan bos JAD, Aman Abdurrahman ini.