Menangani Kasus Terorisme Perlu Penanganan Khusus
Sekretaris Utama (Sestama) BNPT, Marsma TNI Dr. Asep Adang Supriyadi, ST, MM

Menangani Kasus Terorisme Perlu Penanganan Khusus

Jakarta –  Menangani kasus terorisme bukanlah persoalan mudah, namun masyarakat memiliki harapan yang tinggi agar penanggulangan terorisme tetap menjunjung tinggi keadilan. Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) sebagai leading sector penanggulangan terorisme di indonesia telah menggunakan pendekatan komprehensif dalam menangani permasalahan terorisme. Pendekatan yamg dilakuakn BNPT yakni melakukan perpaduan pendekatan keras (hard approach) dan pendekatan lunak (soft approach).

Dalam menjalankan pendekatan lunak ini, BNPT menggunakan dua strategi, yakni kontra radikalisasi dan strategi deradikalisasi. Demikian dikatakan Sekretaris Utama (Sestama) BNPT, Marsma TNI Dr. Asep Adang Supriyadi, ST, MM, dalam sambutannya saat membuka Rapar Koordinasi (Rakor) Pengolahan Data Identifikasi dan Persiapan Rehabilitasi Narapidana Tindak Pidana Terorisme di Lembaga Pemasyarakatan dan Rumah Tahanan Negara tahun 2018 di Jakarta, Selasa (15/5/2018).

“Kontra radikalisasi yakni upaya pencegahan dan penangkalan ideologi radikal bagi masyarakat yang belum terpapar paham radikal. Lalu deradikalisasi yakni upaya transformasi dari keyakinan atau ideologi radikal menjadi tidak radikal dengan pendekatan multi dan interdisipliner (agama, sosial, budaya dan lainnya) kepada sasaran individu dan kelompok yang sudah terpapar paham ideologi radikal,” ujar Marsma TNI Asep Adang Supriyadi.

Lebih lanjut mantan Komandan Lanud Halim Perdanakusuma ini menjelaskan, kegiatan rakor ini merupakan persiapan tahapan rehabilitasi setelah dilakukan identifikasi. Yang mana rehabilitasi merupakan intervensi awal yang diberikan kepada narapidana tindak pidana terorisme selama menjalani masa hukuman dan pembinaan di dalam lembaga pemasyarakatan.

“Program rehabilitasi merupakan kegiatan pembinaan yang disusun secara terstruktur dan terukur. Terstruktur artinya setiap kegiatan dalam program ini mempunyai tahapan yang harus dilakukan untuk mencapai sesuatu yang diharapkan. Terukur artinya setiap kegiatan dalam program ini memiliki indikator-indikator yang jelas dalam pelaksanaannya,” ujar mantan Kepala Dinas Survei dan Pemotretan Udara (Kadissurpotrudau). ini.

Lebih lanjut mantan Komandan Lanud Halim Peranakusumah ini mengatakan, program rehabilitasi disusun berdasarkan temuan-temuan dalam tahapan identifikasi dan evaluasi pada program sebelumnya. Yang mana nantinya akan memberikan gambaran tentang faktor-faktor yang berperan dalam mengarahkan pada dukungan terhadap jalan kekerasan. Selain itu didapat pula baseline data berkaitan dengan klasifikasi individu sehingga pendekatan terarah dan spesifik dengan memperhatikan individual differences dapat dilakukan.

“Program rehabilitasi disusun dengan tujuan utama untuk kontra ideologi, yaitu menyentuh pemahaman dan interpretasi ideologi jihad para narapidana tindak pidana terorisme. Akan tetapi kontra ideologi tidak dilakukan secara langsung, melainkan terintegrasi dengan pendekatan psikologi,” kata mantan Wakil Komandan Komando Pendidikan TNI AU (Wadan Kodikau) ini,.

Pria yang juga pernah menjadi Komandan Lanud Husein Satranegara ini menjelaskan, ada dua strategi utama yang perlu dilakukan dalam program rehabilitasi. Pertama yakni kontra ideologi dan kedua yaitu pembinaan sosial-psikologi. “Kontra ideologi dilakukan untuk memoderasi dukungan narapidana tindak pidana terorisme terhadap jalan kekerasan,” ujarnya.

Lalu untuk pembinaan sosial-psikologi menurutnya dilakukan untuk meningkatkan kemampuan pemecahan masalah dan berpikir reflektif dalam menyampaikan gagasan. strategi ini dilakukan untuk memberikan penguatan secara internal.

“Hal ini agar para narapidana tindak pidana terorisme dapat berpikir terbuka, berpikir alternatif dan memiliki pola relasi yang lebih beragam. Jadi dalam menangani narapidana kasus terorisme ini tentunya diperlukan penanganan yang sangat khusus pula, tidak bisa sembarangan,” ujarnya mengingatkan.

Namun demikian menurutnya, dalam mewujudkan hal tersebut tentunya dibutuhkan dukungan berbagai pihak. keterlibatan para Kepala Lapas, Wali narapidana tindak pidana terorisme (pamong napiter), bagian pembinaan maupun keamanan, tokoh agama dan masyarakat, para tim ahli dan akademisi serta koordinasi dan komunikasi yang baik antara BNPT dan Direktorat Jenderal Pemasyarakatan (Ditjen PAS).

“Karena itulah, dalam kegiatan rakor ini saya berharap pelaksanaan rehabilitasi terhadap para napi terorisme nantinya dapat berjalan dengan efektif sesuai yang diharapkan. Karena para Kalapas dan Pamong ini saya ibarat sebaga instruktur atau pilot yang dapat ngemong atau menularkan ilmu yang baik kepada para narapidana saat mereka menjalani masa pembinaan,” katanya berharap..

Selain itu menurutnya, para Kepala Lalas dan pamong diharapkan dapat berperan aktif dalam mendukung pelaksanaan program deradikalisasi. “Keterlibatan Kalapas dalam pelaksanaan program deradikalisasi dapat ditingkatkan dengan menghadirkan para ahli/ narasumber lokal dan kerja sama dengan pemerintah daerah setempat serta kementerian terkait,” ujarnya mengakhiri.