Memupuk Generasi Ideal yang Rahmat Bagi Semua dan Berakhlak Mulia

Memupuk Generasi Ideal yang Rahmat Bagi Semua dan Berakhlak Mulia

Jakarta – Di penghujung tahun 2025, media sosial kembali disusupi narasi intoleran tentang “generasi ideal”, yang menurut kelompok radikal, adalah generasi yang bisa menolak pengaruh “Barat” dan senantiasa melawan “pemerintahan thaghut” sebagai bentuk pengabdian pada Tuhan. Padahal, generasi ideal yang dicita-citakan oleh Rasulullah adalah mereka yang mampu menjadi rahmat bagi semua dan memiliki akhlak yang mulia.

Membahas distorsi tafsir tentang “generasi ideal”, Direktur Nasional GusDurian Network Indonesia (GNI), Alissa Qotrunnada Munawaroh Wahid, S.Psi., M.Psi., menjelaskan pentingnya menghindari pemikiran dikotomis “Barat” atau “bukan Barat”.

“Generasi yang ideal itu adalah mereka yang berorientasi pada kemanfaatan dirinya bagi orang lain, sebagai bentuk dari pengamalan wamaa arsalnaka illa rahmatan lil’alamin (Surah Al-Anbiya’ – 107). Kalau ada nilai-nilai “Barat” yang selaras dengan nilai-nilai Indonesia, misalnya berkolaborasi yang punya persamaan dengan gotong royong itu harus kita terima. Kenapa? Karena itu juga bagian dari universalitas nilai-nilai Islam yang kuat di Indonesia,” terang Alissa saat dihubungi, Rabu (17/12/2025).

Menurutnya, rakyat Indonesia kuat dalam bergotong royong, tapi tidak berarti orang-orang di luar Indonesia tidak bisa bergotong royong. Ada juga masyarakat di berbagai negara lain itu yang juga meninggikan gotong royong sebagai nilai kebaikan. Sebaliknya, nilai atau paradigma yang walaupun datang dari masyarakat Timur, namun tidak sesuai dan tidak selaras dengan nilai kebaikan dan ke-Indonesia-an, harus ditinggalkan.

Untuk itu, Alissa menekankan kepada orang tua dan generasi muda agar jangan terjebak dengan dikotomi, “ini datang dari Timur atau dari Barat”. Pemikiran yang dikotomis semacam ini seringkali menjadi jalan masuk pemahaman intoleran dan radikal yang jika berhasil ditanamkan pada anak-anak dan remaja, maka akan sangat sulit untuk dihilangkan.

“Kunci dari proses radikalisasi itu adalah kemampuan kelompok radikal untuk membangun kekhawatiran dengan menggunakan narasi-narasi bahwa ‘masyarakat secara umum itu tidak layak dipercaya’, ‘masyarakat umum itu identik dengan pengaruh Barat’. Sebagai bagian dari upaya untuk mengamankan para Gen Z dan generasi Alpha, kita harus mewaspadai dan menyadari adanya narasi intoleran semacam ini mungkin saja mempengaruhi anak-anak kita,” ungkap Alissa.

Alissa Wahid, menerangkan bahwa anak-anak dapat diibaratkan seperti kertas yang putih. Orang tua dan guru sebagai sosok pembimbing serta pendidik harus bisa menorehkan pengaruh positif mereka lebih dulu sebelum mereka menemui pengaruh negatif dari kelompok radikal. Apa yang menjadi jati diri anak kelak ketika mereka dewasa, adalah buah dari pendidikan dan bimbingan orang-orang terdekat mereka.

“Kita mau “kertas putihnya” anak-anak kita ini diisi dengan dengan nilai-nilai dasar yang toleran, cinta perdamaian, dan berakhlak mulia. Harapannya, nilai-nilai positif semacam ini membuat anak memasukkan segala perkara kehidupan yang ia temukan, ke dalam nilai-nilai dasar yang positif dan telah terpupuk sejak lama,” tambahnya.

Alissa mengulas ajaran budi pekerti yang diajarkan oleh para Kiai di Nahdlatul Ulama (NU), bahwa untuk menunjukkan Islam yang rahmatan lil alamin, maka dia harus menjaga tiga ukhuwah (persaudaraan): ukhuwah Islamiyah (persaudaraan sesama Muslim), ukhuwah wathaniyah (persaudaraan sesama warga sebangsa), dan ukhuwah insaniyah (persaudaraan sesama manusia).

“Ukhuwah wathaniyah ini, mungkin tidak melihat latar belakang agama ataupun suku, golongan, itu tidak dilihat. Pokoknya, selama dia warga Indonesia, dia juga harus dihargai hak-haknya. Hal yang juga penting adalah kemampuan kita menerapkan ketiga ukhuwah ini. Jika memang memiliki tiga ukhuwah ini, maka seharusnya tidak setuju kalau diajak menyakiti umat yang lain, karena berarti si pelaku tidak mewujudkan Islam yang rahmatan lil alamin,” tegasnya.

Alissa berharap agar prinsip dan keyakinan yang berorientasi pada rahmatan lil ‘alamin dan menjunjung tinggi akhlak yang mulia bisa ditanamkan kepada generasi muda, sehingga dengan sendirinya semua hal yang beririsan dengan ideologi kekerasan akan tertolak. Ia pun berharap, dengan demikian, anak punya kesadaran untuk mengingat nasihat-nasihat yang baik dari orang tua mereka.

“Bahkan, dalam Al-Qur’an saja, berperang itu hanya dibolehkan untuk mempertahankan diri. Dalam berperang, ada kelompok-kelompok yang tidak boleh sama sekali kita perangi. Kita ketahui, misalnya, lansia, rumah ibadah, anak-anak, perempuan, dan lain-lain, misalnya. Itu adalah salah satu implementasi aturan rahmat yang harus dipahami oleh generasi yang ideal,” pungkas Alissa.