Berbicara tentang sejarah perkembangan terorisme di Indonesia sejak era pasca kemerdekaan sampai hari ini adalah berbicara tentang keinginan sekelompok orang untuk merubah ideologi negara Pancasila menjadi negara berdasarkan agama. Dulu sebelum Undang-undang Nomor 15 tahun 2003 dan PP Nomor 1 tahun 2002, khususnya dalam perundang-undangan yang lain seperti UUN Nomor 11 PNPS 1963, pengertian terorisme termasuk masuk dalam pengertian gerakan separatisme seperti gerakan di Papua dan Ambon yang mempunyai nilai yang sama dengan teŕorisme.
Prinsip-prinsip yang digunakan oleh terorispun sepertinya menjadi rancu. Kelompok yang memiliki pengetahuan agama terbatas dan menganggap Aqidah sebagai bagian yang lebih penting dari tata kehidupan yang “real nyata ini” akan sangat mudah terpengaruh dan menganggap mereka sebagai kelompok pejuang agama. Sang dalang (kelompok inti teroris) akan menganggap kelompok rentan ini sebagai garapan empuk bagi perjuangan mereka.
Dalam banyak pertemuan dan dialog internal-dalam proses rekrutmen-sang dalang akan memainkan wayangnya seolah-olah situasi saat ini adalah perang. Siapa musuhnya? adalah orang-orang yang berbeda Aqidah. Orang yang seaqidah namun berbeda cara pandang, apalagi pandangan moderat diklaim sebagai murtad. Orang kafir ataupun murtad adalah musuh. Sementara musuh boleh diperangi dan boleh juga dibunuh. Artinya dengan rekrutmen yang masif mereka menginginkan terjadinya perubahan ideologi yang radikal dan cepat. Caranya adalah dengan berperang.
Selain narasi perang dan kebencian, menyebarkan rasa takut, menjatuhkan wibawa pemerintah, mempublikasikan ketidakpuasan dengan menarik perhatian media, berusaha melegalkan semua perbuatan dalam perang, mencoba mencari dukungan domestik dan internasional, mengacaukan suasana ekonomi negara sehingga timbul suasana anomie, serta senantiasa berjuang mengembangkan human resources adalah model perjuangan mereka. Suasana saat ini adah perang konstan (qital). Karena itulah, penyerangan secara asimetris atau serangan kecil, efisien dengan personel terbatas menjadi pilihan yang paling tepat. Tidak mungkin mereka akan melakukan serangan duel gunmen to gunmen apalagi menyerang kekuatan satuan militer penuh secara terbuka.
Dalam catatan yang tercecer tentang Doktrin sang lebay Imam Samudra dan Bahrun Naim dapat kita lihat pola narasi yang dikembangkan oleh kelompok teroris. Mungkin masih ingat apa yang dikatakan Imam Samudra saat dirinya tertangkap. Dalam sebuah wawancara ekslusif di sebuah stasiun televise, dia menyatakan dengan tegas bahwa dirinya tidak bersalah. Yang diperangi adalah orang-orang kafir. Apa yang dilakukan adalah perintah Allah. Saat ditanya apakah dia tidak menyesal? Dia jawab tidak. Saat ditanya bahwa ada orang muslim juga yang menjadi korban, itu bagaimana? Dia juga berkilah bahwa itu adalah resiko dan itu urusan dia dengan Tuhan.
Dalam berbagai informasi yang didapat, Imam Samudera selalu mengajak yunior-yuniornya untuk berjuang mati-matian. Apapun boleh dilakukan untuk melawan kaum kafirun ini, termasuk di antaranya merampok. Buahnya, terjadilah beberapa kasus perampokan-termasuk perampokan tokoh emas di Serang. Apakah semua uang itu digunakan semuanya untuk amaliyah? Ternyata tidak. Dalam catatan penulis ada lima hal yang disampaikan oleh Imam samudera kepada anak buah rekan dan temannya dan itupun ditulisnya dalam catatannya yang dikenal dengan “lima pesan Imam samudera”. Pertama; membunuh dan menghancurkan musuh dengan segala cara termasuk dengan mengorbankan diri. Kedua; merampas harta benda musuh dengan merampok atau fai. Ketiga ; berbohong terhadap musuh walau dalam kesaksian di persidangan. Keempat; bermegah diri di hadapan musuh dengan bersikap keras. Kelima; propaganda bohong terhadap musuh untuk membentuk opini.
Menurut penulis ini propaganda ini sangat Lebay. Kenapa? Penulis mencoba mencari dokumen tentang keterlibatan yang bersangkutan, ternyata tidak satupun ada perencanaan dia mau bunuh diri. Tapi menyuruh dan mendoktrin orang untuk melakukan bunuh diri banyak sekali dilakukan. Bahkan hampir di setiap kesempatan. Tentu sangat berbeda dengan Bahrun Naim yang lebih mengandalkan kemajuan teknologi komunikasi yang juga menyampaikan himbauan yang dikenal dengan “Lima Point himbauan Naim”. Pertama ; targetkan orang asing dan Polisi. Kedua; teror seruan Rassullullah Saw. Ketiga; agar singa-singa Indonesia berjihad. Keempat; anjuran membunuh. Kelima; 3 anjuran terendah yakni menawan yang tidak se-ideologi, menyerang serentak dan bersama-sama dan minimal memata-matai pemerintah dan aparat hukum. Apabila membandingkan dua tokoh tersebut dalam mempropagandakan ajakan kekerasan, sepertinya Naim tidak selebay Imam Samudra karena apa yang ia serukan telah ia lakukan sendiri.
Pemaknaan Daulah Islamiyah: Wilayah jihad dan Teror
Dari dokumen yang ditemukan setelah terjadi penangkapan secara masif pasca runtuhnya Al Jamaah Al Islamiyah Indonesia, terdapat berbagai literatur yang berbicara tentang daulah Islam, jihad dan teror. Penulis berpendapat bahwa sejatinya Al Qur’an tidaklah menggunakan istilah jihad untuk perang, tetapi lebih pada “qital”. Jihad itu artinya etika kerja keras dan bersungguh-sungguh. Qital memang diperintahkan dalam Alquran dalam kondisi tertentu, dengan syarat tidak melampaui batas, digunakan untuk memaafkan, dan yang terpenting “mencari perdamaian”.
Di luar konteks Al Quran, secara historis pada abad perkembangan Islam, dunia berada pada situasi perang dan penaklukan. Para ahli hukum Islam kemudian membagi dunia ke dalam wilayah-wilayah hunian menjadi; daar al islam, daar al harb, wilayah Islam dan wilayah non-muslim, dan daar al suluh atau wilayah damai.
Sedangkan ayat-ayat yang berbicara tentang jihad tidaklah bisa dikembangkan semaunya. Ayat-ayat jihad dalam pengertian kerja keras atau perjuangan berjumlah 28 ayat , seperti pada; Qs.2;218- 3;142 – 4; 95 – 5; 35-54 – 8; 72,74,75 – 9; 16,19,20,24,41,44,73,81,86,88,- 16;110 – 22; 78, – 25;52, – 29;6,69, – 47; 31, – 49; 15, – 60; 1,- 61;11 serta 69;9. Sehingga jihad harus diartikan sebagai berperang untuk menegakan Islam dan melindungi Islam, memerangi hawa nafsu, mendermakan harta benda untuk kebaikan Islam dan umatnya, memberantas kejahatan dan menegakan kebenaran. Sehingga secara spesifik perang dalam Al Quran digunakan kata ” qital” QS Al Hajj (22); 39-40.
Sedangkan kata “thagut” berasal dari kata “thagha” yang bermakna melampaui batas (QS: Thaha (20); 24,43) atau orang-orang atau para penguasa yang melampaui batas. Al Quran menyebut kata thagut sebanyak 8 kali yaitu QS.2 ; 256,257,-4; 51,60,76,-5; 60, -16; 36,-39; 17, di mana kedelapan ayat tentang thagut memiliki arti yang sama, yakni setan dan sesembahan lain selain Allah. Dan dalam konteks ideologis pemaknaan setan atau sesembahan selain Allah telah dilebarkan pada wujud musuh. Buktinya kaum cina komunis dulu menganggap kapitalis sebagai setan sama seperti halnya orang-orang yang merasa tertindas. Walau sebetulnya hanya perbedaan cara pandang, kata thagut akan dialihkan pada anggapan penguasa sebagai setan.
Sejatinya kelompok JI dan ISIS sekarang tidak bisa dikategorikan kelompok jihad. Musuhnya tidak jelas dan siapa penyerang tidak jelas. Penegakan hukum dianggap sebagai penyerangan. Perang yang dicanangkan teroris yang mengatasnamakan penegakan Islam sama sekali tidak mengikuti sunnah Rasul. Sunah Rasul mengisyaratkan dakwah tanpa kekerasan, hijrah ke wilayah yang aman, serta mengaktualisasi ajaran dalam masyarakat ummah (islami) yang bertujuan untuk menegakkan kekuasaan Allah di muka bumi. Coba bandingkan dengan apa yang telah dilakukan oleh JI dan ISIS di tengah masyarakat Indonesia yang begitu damai.