Membangun Sinergitas Generasi Muda dalam Pencegahan Terorisme di Dunia Maya

Dari Radikalisme ke Terorisme

Terorisme bukan persoalan siapa pelaku, kelompok dan jaringannya. Namun, lebih dari itu terorisme merupakan tindakan yang memiliki akar keyakinan, doktrin dan ideologi yang dapat menyerang kesadaran masyarakat. Tumbuh suburnya terorisme tergantung di lahan mana ia tumbuh dan berkembang. Jika ia hidup di tanah gersang, maka terorisme sulit menemukan tempat, sebaliknya jika ia hidup di lahan yang subur maka ia akan cepat berkembang. Ladang subur tersebut menurut Hendropriyono adalah masyakarat yang dicemari oleh paham fundamentalisme ekstrim atau radikalisme keagamaan.

      Radikalisme merupakan embrio lahirnya terorisme. Radikalisme merupakan suatu sikap yang mendambakan perubahan secara total dan bersifat revolusioner dengan  menjungkirbalikkan nilai-nilai yang ada secara drastis lewat kekeraan (violence) dan aksi-aksi yang ekstrem. Ada beberapa ciri yang bisa dikenali dari sikap dan paham radikal. 1) intoleran (tidak mau menghargai pendapat &keyakinan orang lain), 2) fanatik (selalu merasa benar sendiri; menganggap orang lain salah), 3) eksklusif (membedakan diri dari umat Islam umumnya) dan 4) revolusioner (cenderung menggunakan cara-cara kekerasan untuk mencapai tujuan).

Memiliki sikap dan pemahaman radikal saja tidak mesti menjadikan seseorang terjerumus dalam paham dan aksi terorisme. Ada faktor lain yang memotivasi seseorang bergabung dalam jaringan terorisme. Motivasi tersebut disebabkan oleh beberapa faktor. Pertama, Faktor domestik, yakni kondisi dalam negeri yang semisal kemiskinan, ketidakadilan atau merasa Kecewa dengan pemerintah. Kedua, faktor internasional, yakni pengaruh lingkungan luar negeri yang memberikan daya dorong tumbuhnya sentiment keagamaan seperti ketidakadilan global, politik luar negeri yg arogan, dan imperialisme modern negara adidaya. Ketiga, faktor kultural yang sangat terkait dengan pemahaman keagamaan yang dangkal dan penafsiran kitab suci yang sempit dan leksikal (harfiyah). Sikap dan pemahaman yang radikal dan dimotivasi oleh berbagai faktor di atas seringkali menjadikan seseorang memilih untuk bergabung dalam aksi dan jaringan terorisme. Lalu apa itu terorisme? Banyak ragam pengertian dalam mendefinisikan terorisme. Dari beragam definisi baik oleh para pakar dan ilmuwan maupun yang dijadikan dasar oleh suatu negara, setidaknya memuat tiga hal: pertama, metode, yakni menggunakan kekerasan; kedua, target, yakni korban warga sipil secara acak, dan ketiga tujuan, yakni untuk menebar rasa takut dan untuk kepentingan perubahan sosial politik. Karena itulah, definisi yang dijadikan dasar oleh negara Indonesia dalam melihat terorisme pun tidak dilepaskan dari tiga komponen tersebut

Dalam UU No.15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme disebutkan : Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan menimbulkan situasi teror atau rasa  takut terhadap orang secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massal, dengan cara merampas harta benda orang lain, atau mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap obyek-oyek vital strategis atau lingkungan hidup atau fasilitas publik atau fasilitas internasional.

 Sejarah Penanggulangan Terorisme

            Aksi terorisme sebernanya bukanlah hal baru. Sejak awal kemerdekaan hingga reformasi aksi terorisme selalu ada dalam bentuk, motif dan gerakan yang berbeda-beda serta dengan strategi penanggulangan yang berbeda-beda pula. Di masa Orde Lama kebijakan dan strategi penanggulangan terorisme dilaksanakan dengan pendekatan keamanan melalui operasi militer dengan basis UU Subversif. Hampir sama dengan Orde Lama, penanggulangan terorisme pada masa Orde Baru juga mendasarkan pada UU Subversif dengan penekanan lebih pada operasi intelijen. Pada era reformasi, demokratisasi, kebebasan dan perspektif HAM di berbagai sektor telah turut mempengaruhi kebijakan dan strategi penanggulangan terorisme yang lebih mengedepankan aspek penegakan hukum misalnya lahirnya UU Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme setelah tragedi Bom Bali I Tahun 2002 di Legian Bali.

            Pada perkembangan selanjutnya pada tahun 2010 pemerintah mengeluarkan Perpres No. 46 Tahun 2010 tentang pembentukan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) yang pada tahun 2012 diubah dengan Perpres No. 12 Tahun 2012. Pembentukan BNPT merupakan kebijakan negara dalam melakukan terorisme di Indonesia sebagai pengembangan dari Desk Koordinasi Pemberantasan Terorisme (DKPT) yang dibuat pada tahun 2002.

            Dalam kebijakan nasional BNPT merupakan leading sector yang berwenang untuk menyusun dan membuat kebijakan dan strategi serta menjadi koordinator dalam bidang penanggulangan terorisme. Dipimpin oleh seorang kepala, BNPT mempunyai tiga kebijakan bidang pencegahan perlindungan dan deradikalisasi,  bidang penindakan dan pembinaan kemampuan dan bidang kerjasama internasional. Dalam menjalankan kebijakan dan strateginya, BNPT menjalankan pendekatan holistik dari hulu ke hilir. Penyelasaian terorisme tidak hanya selesai dengan penegakan dan penindakan hukum (hard power) tetapi yang paling penting menyentuh hulu persoalan dengan upaya pencegahan (soft power).

            Dalam bidang pencegahan, BNPT menggunakan dua strategi pertama, kontra radikalisasi yakni upaya penanaman nilai-nilai ke-Indonesiaan serta nilai-nilai non-kekerasan. Dalam prosesnya strategi ini dilakukan melalui pendidikan baik formal maupun non formal. Kontra radikalisasi diarahkan masyarakat umum melalui kerjasama dengan tokoh agama, tokoh pendidikan, tokoh masyarakat, tokoh adat, tokoh pemuda dan stakehorlder lain dalam memberikan nilai-nilai kebangsaan.

            Strategi kedua adalah deradikalisasi. Bidang deradikalisasi ditujukan pada kelompok simpatisan, pendukung, inti dan militan yang dilakukan baik di dalam maupun di luar lapas. Tujuan dari deradikalisasi agar; kelompok inti, militan simpatisan dan pendukung meninggalkan cara-cara kekerasan dan teror dalam memperjuangkan misinya serta memoderasi paham-paham radikal mereka sejalan dengan semangat kelompok Islam moderat dan cocok dengan misi-misi kebangsaan yang memperkuat NKRI.

 Media Online dan Bahaya Terorisme

      Dewasa ini seluruh negara tanpa kecuali Indonesia sedang menghadapi tantangan baru terorisme yang memanfaatkan teknologi informasi. Kelompok teroris dalam banyak hal sangat menikmati dan diuntungkan dengan hadirnya produk teknologi berbasis jaringan internet tersebut sebagai kepentingan media propaganda, rekruitment dan pembinaan jaringan mereka. Hadirnya revolusi teknologi dan informasi berbasis jaringan internet semakin membantu kelompok teroris dalam peningkatan propaganda mereka.

            Dalam penelitian yang dilakukan oleh Gabriel Weimann perkembangan situs yang dimiliki oleh kelompok teroris dari tahun ke tahun selalu mengalami peningkatan. Jika pada tahun 1998 hanya ada 12 situs, pada tahun 2003 situs kelompok teroris ini sudah mencapai 2.650. Dalam catatan terakhir tahun 2014 telah terdapat lebih dari 9.800 situs yang dimiliki oleh kelompok teroris. Keuntungan yang didapatkan dari penggunaan media online tersebut menurut Weimann adalah akses yang mudah, tidak ada kontrol dan regulasi, audiens yang luas, tidak bernama, kecepatan informasinya, media interaksi, murah membuat dan memeliharanya, bersifat multimedia (cetak, suara, foto dan video) dan terakhir yang tetap menjadi tujuannya adalah karena internet telah menjadi sumber media mainstream.

Selain persoalan kuantitias situs radikal yang terus bertambah, perkembangan yang signifikan dari pertumbuhan propaganda radikalisme di media online adalah terkait perkembangan bentuk dan polanya. Setidaknya ada tiga tahapan perkembangan bentuk dan pola menurut Weimann dalam meneliti perkembangan propaganda radikal teroris di dunia maya. Pertama, tahapan awal hanya website. Kedua, website dilengkapi dengan media interaksi semisal menyediakan forums dan chatrooms. Tahapan yang terakhir yang semakin populer akhir-akhir ini adalah sosial media seperti YouTube, facebook, twitter dan platform media sosial lainnya.

Perambahan dari sekedar website ke media sosial menunjukkan pola dinamis yang dikembangkan kelompok teroris untuk selalu mengikuti perkembangan dan trend teknologi dan informasi. Weimann menyebutkan bahwa pergeseran ke ranah media sosial yang dilakukan oleh kelompok teroris tersebut mempunyai beberapa tujuan, yakni untuk kepentingan lebih interaktif, trendy dan populer, lebih menyentuh pada sasaran dan terakhir yang sangat dikhawatirkan adalah karena secara demografis penghuni lingkungan media sosial tersebut para generasi muda.

            Di Indonesia pertumbuhan situs radikal ini juga tidak kalah banyaknya mulai dari yang secara terang-terangan berafiliasi dengan jaringan teroris hingga yang secara samar dan sembunyi-sembunyi memberi dukungan terhadap gerakan radikal teroris. Selain sebagai media propaganda, persoalan pendanaan terorisme seperti pembelian senjata, pelatihan militer, media internet juga dimanfaatkan dalam penggalangan dana dengan tindakan kriminal atau yang dikenal dengan cyber fa’i (perampokan melalui dunia maya). Salah satu contoh, kasus peretasan situs investasi online speedline yang oleh salah satu anggota kelompok terorisme yang bernama Rizki yang berhasil mengumpulkan dana sebesar Rp. 7 Miliar untuk kepentingan kelompok teroris yang ada di Poso.

            Media internet kerap juga dimanfaatkan oleh kelompok teroris untuk pelatihan dan pendidikan seperti beberapa situs yang memberikan tutorial belajar merakit bom dan bahan peledak lainnya. Keberadaan situs-situs ini tidak hanya meresahkan tetapi dalam banyak kasus telah terbukti mempengaruhi perkembangan terorisme. Lima Remaja SMK Klaten mengaku belajar merakit bom dari website forum al-busyro. Fakta lain, Ahmad Azhar Basyir mengaku banyak mencari artikel di internet tentang bagaimana membuat detonator, sampai akhirnya ia menemukan salah satu akun FB salafi jihady yang mengulas tentang hal tersebut. Dan masih banyak contoh-contoh lain yang terbaru keterpengaruhan anak muda dari media online.

Pemuda dan Terorisme di Dunia Maya

      Pertanyaannya kenapa terorisme baru di dunia maya ini hal itu sangat meresahkan? Hasil survey yang dilakukan Asosiasi Penyedia Jasa Internet Indonesia pada tahun 2015 menyebutkan bahwa jumlah pengguna internet di Indonesia pada tahun 2014 sebanyak 88,1 Juta penduduk atau 34,9 persen dari jumlah penduduk Indonesia. Angka ini juga menyiratkan adanya peningkatan pengunnaan internet masyarakat dari tahun sebelumnya. Hasil survey ini juga menyatakan berdasarkan kategori usia 49 persen pengguna internet di Indonesia didominasi oleh kalangan generasi muda umur 18-25 tahun dan kebanyakan mereka menggunakan seluler untuk mengakses dan berkomunikasi di dunia maya.

Fakta-fakta tersebut menunjukkan bahwa sebenarnya ada peluang besar bagi perkembangan dunia teknologi dan informasi di Indonesia khususnya dengan hadirnya generasi muda yang sudah mulai melek media. Namun, tantangan besarnya juga di depan mata. Mudah dan cepatnya informasi yang bisa didapatkan dari dunia maya tanpa dibarengi dengan ketepatan dan kejelian dalam mengolah, memilah dan mengambil informasi menjadi salah satu pintu awal keterpengaruhan generasi muda dari propaganda radikal terorisme.

Di kalangan generasi muda saat ini internet tidak hanya dijadikan alat komunikasi dan informasi tetapi juga untuk media pembelajaran keagamaan. Generasi muda saat ini misalnya sudah banyak megikuti dan mengunjungi situs-situs keagamaan sebagai referensi mereka dalam mendapatkan pengetahuan. Sebenarnya hal itu bukan menjadi persoalan tetapi sejauhmana generasi muda memiliki benteng pertahanan diri untuk tidak secara mudah mentah mengambil pemikiran keagamaan dari dunia maya yang tanpa ada jaminan kredibilitas dan validitasnya.

Generasi muda menjadi sangat rentan dari pengaruh paham radikal terorisme. Sementara dunia maya menjadi arena baru yang memungkinkan generasi sangat cepat dan mudah mendekati ke arah keterpengaruhan tersebut.  Apabila melihat dari profil pelaku terorisme dari 110 orang berdasarkan riset data yang dilakukan oleh Indonesia Research Team, 2012 antara Kementerian Luar Negeri, INSEP dan Densus 88 disebutkan bahwa 47,3 persen pelaku terorisme adalah generasi muda dengan kisaran umur 21-30 tahun. Sementara dari tingkat pendidikan, para pelaku terorisme didominasi oleh lulusan sekolah menengah atas.

Apa yang ingin dikatakan dari fakta-fakta tersebut bahwa pemuda menjadi salah satu target kelompok teroris dalam rekruitmen keaanggotaan. Sementara itu, hadirnya informasi internet yang begitu dengan gaya hidup anak muda hari ini menjadi sangat efektif dimanfaatkan oleh kelompok teroris dalam penyebaran paham mereka.

 Butuhnya Sinergitas Pemuda

            Dalam konteks pencegahan di dunia maya, BNPT telah mencanangkan tahun 2015 dengan “Program Damai di Dunia Maya”. Dalam rangka mewujudkan hal tersebut selain kebijakan keras semisal penutupan situs dan kebijakan rekayasa teknologi lainnya, hal terpenting adalah pencegahan melalui rekayasa social dan budaya. Apa yang dimaksudkan dari rekayasa sosial dan budaya tersebut adalah menjalin kerjasama dan sinergi dengan seluruh pihak khususnya generasi muda untuk melakukan pencegahan melalui kontra narasi, ideologi dan propaganda yang kerap dilakukan oleh kelompok teroris di dunia maya.

BNPT telah berupaya untuk memberikan wawasan tandingan terhadap konten negatif yang beredar luas di dunia maya dengan menyediakan dua website yaitu www.damailahIndonesiaku.com yang bersifat informatif dan www.jalandamai.org yang bersifat edukatif. BNPT juga membentuk suatu portal damai yang dapat diakses melalui www.damai.id sebagai media penghubung antar komunitas dalam membentuk jejaring damai di dunia maya. Portal ini dimaksudkan adanya keterhubungan antar satu dengan lainnya sehingga mampu menciptakan gerakan sinergis dan massif untuk mewujudkan dunia maya sebagai arena yang sehat, damai dan mencerahkan. Melalui portal ini para pemuda dapat menyalurkan kreativitasnya dalam bentuk artikel,tulisan maupun gambar dalam rangka meramaikan dunia maya dengan narasi dan pesan perdamaian, kecintaan terhadap NKRI dan pelurusan doktrin keagamaan yang sering disalahartikan oleh kelompok radikal teroris.

Generasi muda sebagai harapan masa depan bangsa mempunyai peran penting dalam menularkan kesadaran dan wawasan kebangsaan terhadap seluruh masyarakat. Mengandalkan peran pemerintah saja tidak cukup. Pemuda dalam hal ini menjadi mitra strategis pemerintah dalam bersama-sama melakukan upaya pencegahan terhadap berbagai bentuk ancaman terorisme khususnya di dunia maya. Ada tanggungjawab sejarah yang harus dilaksanakan oleh para pemuda dalam mencegah penularan paham radikal yang mulai merambah dan menargetkan kalangan anak muda khususnya dan masyarakat pada umumnya melalui dunia maya.

 “Bersama Cegah Terorisme”