Jakarta – Di tengah maraknya literatur keagamaan terjemahan, para akademisi mengingatkan publik akan bahaya “pembajakan makna”—penyusupan ideologi radikal lewat kalimat-kalimat samar yang tampak normatif di permukaan, namun menyimpan ajakan terselubung di dalamnya.
Guru Besar UIN Siber Syekh Nurjati Cirebon, Prof. Didin Nurul Rosidin, menegaskan pentingnya membaca kritis terhadap buku-buku keislaman terjemahan yang sering kali dimodifikasi secara ideologis oleh penerjemah yang tidak netral.
“Ketika membaca buku terjemahan, kita harus waspada. Ada titik-titik di mana terjemahan tidak hanya menyimpang, tapi juga menyusupkan narasi yang menyimpang dari makna aslinya,” ujar Prof. Didin dalam diskusi publik, Senin (30/6/2025).
Salah satu kasus yang disoroti adalah buku Strategi Dua Lengan, yang dalam versi aslinya hanya berjumlah sekitar 100 halaman. Namun, versi terjemahan Indonesia berkembang menjadi lebih dari 200 halaman—dipenuhi tambahan narasi kebencian sektarian, glorifikasi kekerasan, dan ajakan ideologis terselubung.
Pengamat Timur Tengah Hasibullah Satrawi menyebut buku tersebut sebagai contoh nyata penggandaan narasi berbahaya yang dikemas secara religius. “Teks tambahan menyebarkan kebencian terhadap kelompok tertentu seperti Yahudi, Syiah, dan pihak-pihak yang dianggap menyimpang. Ini bukan terjemahan biasa—ini rekayasa ideologis,” tegasnya.
Menurut Hasibullah, ajakan radikal tidak lagi disampaikan dengan cara terang-terangan. Sebaliknya, ia hadir dalam bentuk romantisasi masa lalu, glorifikasi konflik seperti di Suriah dan Yaman, hingga penggambaran wilayah tersebut sebagai “kiblat ketiga” umat Islam setelah Mekah dan Yerusalem.
“Suriah disebut-sebut sebagai pusat spiritual baru. Bagi sebagian orang, ke Suriah itu seperti pergi berhaji ke medan perang ideologis,” ujarnya.
Upaya Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) dalam menyebarluaskan hasil kajian ini merupakan bagian dari strategi membangun ketahanan narasi di tengah masyarakat. Fokusnya bukan sekadar membendung buku-buku radikal, tetapi juga menumbuhkan kesadaran literasi kritis—agar masyarakat tak mudah terkecoh oleh teks yang tampak religius tapi sesat makna.
“Ini bukan soal dilarang atau tidak, tapi soal bagaimana kita tidak tersesat saat membaca. Literasi kritis adalah benteng pertama melawan radikalisme,” tandas Prof. Didin.
Melalui pendekatan seperti ini, BNPT hadir bukan hanya sebagai penjaga keamanan negara, melainkan juga sebagai penjaga makna—karena kini, perang melawan terorisme tak lagi soal senjata, tetapi soal siapa yang lebih kuat mengendalikan narasi.
Damailah Indonesiaku Bersama Cegah Terorisme!