(Melawan Radikalisasi dengan Literasi)
–Bagian 2 (habis)–
ISIS tahu betul apa yang sedang menjadi tren di kalangan anak-anak muda. Mereka dapat cepat beradaptasi demi memenuhi kebutuhan para netizen, termasuk dengan selalu responsif dan update info-info terbaru kepada para followers-nya. Karenanya tak sulit bagi ISIS untuk menyebarkan paham kekerasan mereka kepada anak-anak muda, utamanya yang masih dalam fase pencarian jati diri. Beberapa dari anak-anak muda yang telah teracuni dengan ajaran ISIS nekad melakukan aksi-aksi jahat yang mereka jihad.
Meski cara-cara tersebut di atas tampak sukses menarik perhatian netizen, namun ISIS merasa kurang puas dengan hasil yang didapat. Terutama karena mulai banyak pengguna media social yang melakukan perlawanan atau pelurusan (kontra narasi) terhadap narasi-narasi yang dikembangkan ISIS. Laporan dari IDC Herzliya International Institute for Counter-Terrorism’s (ICT) menyebut kelompok ISIS telah menaikkan level terror mereka di dunia maya. Tak hanya melakukan cyberpropaganda, kelompok teroris ini kini juga melakukan cyberterror.
Ciri utama dari cyberterror adalah melakukan serangan langsung ke akun-akun atau website-website yang dianggap berseberangan. Hal ini dilakukan dengan cara mengotori laman website mereka dan posting konten-konten yang mempermalukan kelompok yang dianggap berlawanan dengan ISIS.
Laporan ICT juga menyebut kemungkinan bahaya yang lebih serius, yakni kemampuan kelompok terror untuk mendapatkan dukungan dari banyak pihak sehingga mereka bisa bebas melakukan serangan dan perusakan di dunia maya. Untuk melakukan hal ini, kelompok teroris disebut merekrut sejumlah hacker dan ahli IT.
Pantauan terhadap sejumlah akun media social yang berafiliasi dengan ISIS menunjukkan bahwa kelompok pimpinan Abu Bakar al Baghdadi itu mulai menggalang dukungan dari para hacker demi melaksanakan hasrat mereka untuk melakukan serangan massif di dunia maya.
Tak hanya menyasar kelompok yang dianggap melawan ISIS, kelompok teroris internasional ini juga berupaya kuat untuk melakukan perlawanan terhadap pemerintah dan raksasa-raksasa media yang gencar melakukan kampanye damai anti radikalisme dan terorisme.
Laporan dari ICT di atas seharusnya menjadi wakeup call untuk kita semua, khususnya tentang bahaya yang lebih besar yang bisa didatangkan oleh kelompok teroris di dunia maya. ISIS telah menunjukkan keseriusan mereka dalam menggarap dunia maya sebagai medan tempur mereka. Konsistensi dan keuletan mereka dalam mengelola dunia maya patut untuk segera disikapi.
ISIS pun sebenarnya hanya mengumbar bualan di dunia maya –tak ada satupun yang mereka katakan berstatus benar— namun mereka membungkus bualan tersebut sedemikian rupa hingga tampak layak dipercaya. Untuk konteks Indonesia, indeks membaca masyarakat kita masih sangat rendah. Studi berjudul “Most Littered Nation In the World” yang pernah dilakukan oleh Central Connecticut State Univesity menemukan bahwa minat baca masyarakat Indonesia sangat rendah. Kita berada di posisi 60 dari total 61 negara yang diteliti. (lihat: https://www.republika.co.id/berita/pendidikan/eduaction/18/02/20/p4gflk284-minat-baca-di-indonesia-disebut-masih-rendah)
Ini tentu menjadi PR kita bersama. Menumbuhkan minat membaca penting untuk segera dilakukan. Membaca akan membantu masyarakat kita membangun benteng yang kokoh untuk melindungi diri mereka dari pengaruh-pengaruh buruk yang berasal dari pemelesetan ajaran-ajaran agama, karena sejatinya, ajaran dan paham radikal hanya akan bisa menyasar orang-orang yang kurang belajar, tak tahan membaca; masyarakat instan yang tak mau bersusah payah mengikuti proses pembelajaran yang kadang memang melelahkan.
Literasi adalah kunci utama dalam melawan radikalisasi.