Memahami Radikalisasi sebagai Proses Sosial (Bagian. 2)

Dalam tulisan sebelumnya saya telah menegaskan bahwa radikalisasi merupakan proses sosial sebagai konstruksi yang melibatkan banyak faktor dan aktor sosial. Pada pembahasan sebelumnya telah dikupas tentang banyaknya faktor sosial yang mengkonstruksi seseorang dalam proses radikalisasi. Pada tulisan ini saya ingin memfokuskan pada peran aktor sosial dalam proses radikalisasi.

Aktor sosial dalam proses radikalisasi merupakan perorangan, kelompok atau jaringan terorisme. Aktor ini merupakan agen penting dalam proses terjadinya radikalisasi dan rekrutmen seseorang menjadi radikal. Sebelum membahas peta jaringan yang lengkap, saya ingin mengawali dengan kupasan konstruksi ideologis-politis yang dimiliki para aktor sosial ini dalam menciptakan ruang radikalisasi di tengah masyarakat.

Apa yang Teroris Inginkan?

Dalam berbagai komunikasi dengan mantan narapidana teroris maupun narapidana teroris yang sedang menjalani masa tahanannya di lapas, termasuk keluarga dan komunitas lain yang rentan dipengaruhi paham radikal, saya dapat memahami, mencermati dan mempelajari tentang mengapa mereka menjadi teroris. Sangat menarik untuk dibahas betapa mereka sebetulnya adalah manusia biasa yang telah terpapar ideologi agama yang pro kekerasan. Artinya, dalam konteks ini saya ingin menegaskan bahwa mereka juga korban dari ideologi dan doktrin kekerasan atas nama agama.

Secara psikologis orang yang bergabung dalam jaringan kelompok teroris bukanlah kelompok atau orang yang memiliki keperibadian anti sosial. Bukan juga kumpulan orang bodoh dengan tingkat intelijensia rendah. Bukan juga inadequate people, apalagi ada yang menganggap sebagai kumpulan orang gila. Mereka adalah orang-orang normal seperti halnya kita. Secara hukum mereka adalah bersalah dan melanggar hukum, di sisi mentalitas dan militansi mereka adalah orang-orang yang berpendirian teguh. Mereka adalah orang-orang yang mempunyai idealisme sangat tinggi. Dan demi mempertahankan cita-cita tersebut mereka tidak takut kematian, sebab kematian adalah sebagai tujuan.

Pertanyaannya, mengapa mereka melakukan kekerasan, mengapa mereka menyerang negara?  Mengapa mereka mencederai bahkan membunuh orang lain?

Itulah letak persoalannya. Pembenaran versi mereka adalah idealisme. Idealisme  agama versi mereka. Mereka secara praktis ingin pengakuan, baik pengakuan masyarakat lokal, nasional bahkan masyarakat dunia. Mereka dengan bangga ingin memperlihatkan inilah perjuangan mereka. Dengan kekerasan mereka ingin agar pemerintah bereaksi dan membalas dengan reaksi yang sangat refresif dan meresahkan masyarakat. Dengan itu kemudian mereka akan mendapat dukungan sosiologis.

Tujuan yang mereka harapkan adalah bahwa masyarakat kemudian bergabung dan meyakini secara ideologis apa yang telah mereka perjuangkan. Mereka ingin mempermalukan pemerintah. Aparat penegak hukum dan militer ingin mereka buat menjadi tidak berdaya. Untuk itu mereka menyerang secara clandestein. Mereka ingin menciptakan dampak besar, namun dengan perang skala kecil. Namun, pesan yang disampaikan oleh mereka sangatlah jelas dan sistematik.

Tujuan strategis jangka panjang kelompok teroris adalah terjadinya perubahan radikal atas ideologi yang menjadi dasar dari pijakan mereka. Secara politis mereka menginginkan suatu gejolak yang dapat mempengaruhi dan membuat kebijakan dan keputusan baik lingkup lokal, regional maupun internasional. Mereka ingin mengubah dunia dengan ideology yang sangat dipegang teguh sebagai tujuan akhir kematian, yakni berdirinya khilafah. Model diplomasi, demokrasi dan musyawarah serta mufakat bukanlah cara dan sistem pilihan mereka.

Dengan kontsruksi ideologis yang mereka yakini tersebut, proses aktualisasi idealism dalam lingkup kekinian akan bertentangan dengan apa yang mereka yakini. Karenanya, mereka menganggap bahwa situasi aktual terkini sebagai situasi perang, yaitu kondisi perang (qital) di mana orang yang tidak seiman dan sependapat dianggap kafir. Seiman tetapi berbeda paham adalah murtad. Kafir dan murtad adalah musuh, sementara musuh dalam rangka amaliah haruslah diperangi.

Berbagai penelitian telah banyak dilakukan. Salah satu misalnya dari Lembaga Kajian Islam dan Perdamaian (LAKIP) yang dipimpin oleh Prof. DR. Bambang Pranowo, Guru Besar UIN Jakarta yang dilakukan dari Oktober 2010 sampai Januari 2011 yang sangat membuat kita tersadar bahwa hampir 50% pelajar setuju dengan tindakan radikal, 25% siswa dan 21% guru setuju tindakan radikal, 84,8% siswa dan 76,25% guru setuju penerapan syariat Islam serta 52,3% siswa setuju dengan kekerasan demi solidaritas agama, dan 14,2% membenarkan serangan bom.

Hasil penelitian ini menggambarkan bahwa serangan teror bom yang mereka lakukan di Indonesia sebenarnya merupakan sarana dengan tujuan akhirnya adalah menanamkan pesan ideologis terhadap masyarakat Indonesia tentang nilai dan idealise yang mereka pegang teguh. Para aktor sosial terorisme ini mungkin gagal dalam berbagai aksi, tetapi sejatinya mereka berhasil melakukan aksi bom psikologis dan ideologis terhadap kesadaran masyarakat. Bom tersebut telah membuat sebagian masyarakat membuang kesadaran lama tentang Indonesia dan lambat laun mengadopsi idealisme dan cita-cita kelompok terorisme.

Identifikasi Narasi Propaganda, Rekrutmen dan Pengorganisasian Jaringan

Dari berbagai literatur, dialog dengan kelompok radikal dan hasil pengamatan yang penulis lakukan sejak tahun 2006 sampai 2009, dan dari tahun 2014 sampai 2017 sebetulnya gejala radikal seseorang atau kelompok itu dapat diamati dan dirasakan manakala kita melakukan interaksi dengan mereka. Walaupun mungkin sangat disadari bahwa bukan hal yang mudah untuk berinteraksi dan bercengkrama dengan mereka. Pendekatan otoritas, jabatan dan tugas pokok merupakan bagian dari kegagalan dalam berinteraksi. Tapi dengan pendekatan emosional, empati dan kekeluargaan Insyaallah akan berhasil seperti yang selama ini efektif penulis lakukan.

Ada beberapa tanda bahwa kelompok radikal telah mampu meradikalisasi orang atau kelompok. Secara umum dapat diamati dengan gejala sebagai berikut. Pertama: manakala target atau orang yang mau kita temui itu menolak bertemu dengan alasan profesi kita, agama atau berasal dari kelompok mana kita, atau.  Kedua: setelah mau bertemu ternyata dia menolak untuk mengatakan apapun, dia diam, biasanya mimik mukanya sangat tidak bersahabat. Ketiga: walaupun sudah mau berkomunikasi, tapi selalu menolak konsep kompromi dan musyawarah. Pada saat dia berbicara kita diminta untuk mendengarkan, namun dia tidak merespon saat kita berargumen. Keempat: dia akan lebih bersikap sebagai guru atau penceramah. Kelima: biasanya dia akan menggunakan strategi konfrontatif ketimbang akomodatif. Keenam: selalu menarik diri dari arus utama (moderat) baik secara sosiologis maupun ideologis atau cara pandang. Ketujuh : sistem yang ada saat ini dianggap ketinggalan, tidak baik dan tidak mewakili kepentingan ideologinya. Kedelapan : ini bagian yang terpenting dari radikalisasi yaitu bahwa mereka sangat toleran dengan cara-cara kekerasan.

Fakta-fakta tersebut ternyata equivalen dan sejalan dengan disampaikan oleh Syaikh Dr Muh. Tahir Al Qadri bahwa dalam radikalisme Islam mereka meyakini pandangan mereka sebagai representasi Islam yang sebenarnya. Muslim yang tidak sesuai dengan hukum Islam, adalah perpaduan kemungkaran dan kebaikan, kekafiran dan kemusrikan atau kesesatan.

Apabila seseorang sudah mampu diradikalisasi, sudah terdoktrin, sudah meyakini kebenaran yang dia miliki sebagai kebenaran mutlak, maka tidak sulit untuk menarik mereka dalam organisasi yang memiliki baseline radikal. Dulu penulis menyebutnya organisasi teroris sebagai organisasi “Tanzim Siri”, yaitu organisasi yang bergeraknya secara clendestein, memiliki organisasi dan sistem tertutup yang cukup rapi, dan memiliki disiplin dan militansi yang tinggi. Norma universal bagi mereka tidak berlaku, hukum sosiologis apalagi HAM mereka anggap sebagai produk para thogut.

Dalam kontsruksi ideologis tersebut, tindakan kriminal diperbolehkan untuk mencapai tujuan. Semua pergerakan memberikan efek psikologis yang tinggi untuk menciptakan ketakutan. Modus kejahatan mempunyai daya tarik publik dan media, pengeboman penculikan dan penyanderaan serta pembunuhan adalah pilihan model dari tujuan untuk menarik perhatian.

Dalam organisasi mereka mempunyai target politik. Simbol pemersatu adalah Jihad Agama. Mengapa Jihad? Karena dalam berjihad aksi kekerasan dibolehkan, mereka merasa satu-satunya kelompok yang telah diberi hidayah, sedangkan ulama salaf dari generasi sebelumnya dianggap orang yang telah diselimuti oleh jaman jahiliyah, syirik dan bid’ah.

Dari beberapakali pertemuan dengan beberapa tokoh prominen terorisme pada masa lalu, baik yang sedang menjalani hukuman, komunitas yang rentan terpapar ideologi agama pro kekerasan maupun keluarga terorisme, penulis beranggapan sebetulnya tidak sulit mengajak orang menjadi radikal. Faktanya adalah manakala penulis memposisikan diri sebagai pendengar yang baik, maka apa yang mereka katakan pada prinsipnya benar dan bisa diterima dengan logik agama. Hanya saja tatkala kemudian kita lakukan kajian ulang dengan tools realita sosiologis, antropologis, psikologis, sejatinya banyak keliruan karena tentu tidak boleh umat hanya berfikir tentang hari kematian sampai ke ukuran surga dan neraka tanpa berhitung tentang kehidupan yang “real time” saat ini.

Para kelompok radikalis dengan piawai menjelaskan bahwa kehidupan ini digambarkan laksana kurve 0 sampai kurve 5. Kurve 0 adalah kelahiran, kurve 1 kematian, kurve 2 padang masher, kurve 3 jembatan sirhotolmustakim, kurve 4 timbangan amal dan kurve 5 adalah jannah dan neraka jahanam. Persoalan yang dilemparkan kepada penulis sebagai pendengar adalah apa saja yang sudah kita buat dari kurva 0 kelahiran menuju kematian (kurva1). Untuk amalan agama, apa saja yang sudah kita buat. Apakah sudah mampu menyadarkan orang kafir. Coba hitung besaran dosa atas apa yang sudah kita buat demi menuju jannah nanti. Apabila belum melakukan apapun maka mulailah karena tidak ada kata tertinggal.

Ketika mendengar narasi-narasi radikalisasi tersebut, banyak sekali pertanyaan yang dalam hati akan dijawab iya dan iya. Kemudian secara gamblang ada proses identifikasi siapa saja yang bisa mereka rekrut. Siapa yang akan mereka jadikan panutan sebagai ustad atau guru. Ada doktrin ketat melalui taklim taklim kecil. Ada pelajaran khusus tentang jihad, baru masuk pada pelajaran–pelajaran dan terakhir melakukan sumpah setia atau bai’at.

Dari rangkaian dan uraian di atas siapa saja yang dapat dijadikan target? Mencari calon pengantin bahkan anggota dalam jaringan teroris bukanlah perkara mudah. Karena secara organisasi (tanzim ziri) sangat tertutup, maka sulit untuk merekrut orang. Biasanya cara yang efektif mereka lakukan adalah merekrut lingkungan keluarganya sendiri, melalui patron hubungan antara ustad dan bawahan, melalui hubungan pertemanan dan juga ketokohan. Orang yang sudah dianggap tokoh akan mudah merekrut orang, utamanya pada tahap awal yaitu simpatisan.

Sekarang dengan teknologi media ternyata merekrut lebih mudah lagi. Kelompok radikalis akan mencoba masuk dalam group chating pada social media seperti facebook, telegram, WA, Line, dll. Pelan-pelan mereka ajarkan narasi-narasi agama, pelan kemudian mereka masukkan ideologi salafi, jihadi, dan wahabi dengan asumsi saat ini adalah perang konstan (qital). Akibatnya, perbuatan yang sesungguhnya dilarang agama justru mereka lakukan. Sebut saja membunuh, mengebom bangunan dan merampok (fa’i). Mereka merangkai pembenaran-pembenaran dengan dalil mereka sendiri, dengan persepsi dan asumsi-asumsi hasil mendistorsi ajaran agama. Jadilah orang rekrutan menjadi pelaku.

Dengan social media semua menjadi lebih mudah. Seorang recruiter yang semula harus bertemu muka, sekarang tidak perlu tatap muka. Mereka bisa bertemu di dunia maya, saling berbagi ilmu, berbagi pengetahuan, saling mengisi aqidah dan cara-cara amaliah versi agama pro kekerasan. Siklus ini berjalan seiring lengahnya kontrol pemerintah, serta lemahnya sistem hukum kita.

Bagaimana mewaspadai dan mengantisipasi gerakan radikalisasi? Bagi kelompok teroris, dengan mengatasnamakan agama, langkah apapun sekalipun bertentangan dengan agama akhirnya boleh dilanggar. Beberapa hadist dieksploitasi dan didistoris sebagai alat pembenaran. Mereka bercita-cita kembali kepada kebenaran jaman salaf (salafi), jihadi dan takfiri dimainkan seolah-olah situasi kekinian dianggap situasi perang panjang. Berlakulah konsep jihad sempit hanya melalui perang (qital).

Sesungguhnya benteng terkuat dalam mengantisipasi pola propaganda dan rekrutmen jaringan terorisme adalah kembali pada diri kita. Kekuatan pemahaman keagamaan seseorang menjadi benteng untuk mengabaikan, menolak, dan melawan propaganda pro kekerasan atas nama agama tersebut. Sebagai orang beragama terlebih-lebih muslim, maka sebenarnya Rasulullah SAW sudah sangat mewanti-wanti dan mengingatkan agar umat Islam untuk tidak terjebak dalam tindakan ekstrimisme (at-tataruf al diniy), tindakan berlebihan (ghuluw), memiliki pandangan yang sempit (dhayyiq), kaku dan rigid (tanathu’), serta keras (tasyaddud).