Jakarta – Saling memaafkan adalah langkah terbaik untuk mengubur masa lalu yang silam. Dan saling memaafkan akan menjadi tonggak untuk bangkit bersama demi membangun Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang lebih baik di masa mendatang.
Pernyataan itu diungkapkan Kepala Unit Kerja Presiden (UKP) Pembinaan Ideologi Pancasila (PIP) Yudi Latief. Menurutnya, langkah Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) yang mempertemukan mantan narapidana terorisme (napiter) dan korban (penyintas) dalam sebuah kegiatan “Silaturahmi Kebangsaan (Satukan) NKRI) di Jakarta, minggu lalu, merupakan upaya yang baik dan mulia untuk menghilangkan dendam sekaligus membangun silaturahmi demi untuk membangun Indonesia yang lebih baik kedepan, terutama dalam rangka pencegahan terorisme.
“Saya sangat mengapresiasi pertemuan itu. Upaya mempertemukan mantan napiter dengan penyintas ini sangat penting. Dengan begitu mereka bisa saling berempati melihat bagaimana kondisi korban, tapi di sisi lain korban juga bisa memahami bahwa aksi-aksi terorisme itu mempunyai akar sosial sebagai penyebabnya,” ujar Yudi Latif di Jakarta, Selasa (6/3/2018).
Menurut Yudi, dengan terjadinya silaturahmi itu, diharapkan para mantan napiter benar-benar tersadar dan menyadari kesalahan masa lalunya. Artinya mereka akan menyadari daripada meneruskan atau mengulang aksi-aksi kekerasan yang menimbulkan penderitaan, lebih baik melakukan upaya yang lebih produktif, capacity building, dan meningkatkan ilmu pengetahuan agar bisa menjalani hidup lebih baik. Dengan begitu rantai korban terorisme bisa dikurangi di masa mendatang.
“Silaturahmi ini bisa menjadi arena bersambung rasa antara mantan napiter dan penyintas. Dengan ebitu masing-masing pihak bisa melihat situasinya secara langsung dan tidak hitam putih lagi. Daripada membuat aksi-aksi yang hanya akan menimbulkan masalah baru, lebih baik mari bangkit bersama menyelesaikan masalah penanggulangan terorisme ini. Saya kira cara BNPT ini sangat brilian,” terang Yudi Latif.
Ia menilai, silaturahmi ini lebih baik digelar secara terbuka seperti kemarin, daripada diam-diam yang nantinya bisa menimbulkan kesalahpahaman satu dengan yang lain. Dengan dibuka bisa saling memahami, merasakan, dan berikutnya bisa saling membantu, gotong royong untuk bangkit bersama untuk menjadi manusia yang baik.
Selanjutnya, ungkap Yudi, karena aksi terorisme ada kaitannya dengan relasi politik di masa lalu, ia berpesan para elit di negara ini agar jangan sampai menjadikan politik sebagai alat kepentingan jangka pendek, yang berpotensi menimbulkan korban rakyat yang tidak berdosa. Pasalnya, para elit mungkin begitu kepentingan tercapai bisa damai, tapi ‘limbahnya’ di masyarakat tidak mudah dibersihkan.
“Begitu elit sudah bisa bersalaman, konflik dibawah belum tentu berakhir. Jadi hati-hati menggunakan trik-trik atau manuver politik yang berpotensi mengadu domba, mobilisasi, persekusi, dan saling serang yang menimbulkan korban yang akan melahirkan dendam baru, yang akan mengembangbiakkan terorisme di masa mendatang,” jelasnya.
Karena itu, Yudi menegaskan, capacity building harus terus ditingkatkan karena terorisme ada kaitannya dengan masalah sosial. Salah satunya adalah himpitan ekonomi yang berat membuat seseorang mudah sekali terbuai dengan paham baru yang memberi harapan. Itulah yang membuat penting dilakukan peningkatan pengetahuan di bidang ekonomi atau usaha baru.
Dengan begitu bila seseorang memiliki aktivitas, tentu akan lebih produktif, dan otomatis akan lupa dengan pemikiran-pemikiran radikal. Sebaliknya, bila seseorang tidak memiliki aktivitas, sementara tekanan sosial semakin tinggi, akan mudah terjadi dimasuki paham-paham baru dengan harapan palsu. Selain itu, Yudi juga menggarisbawahi agar isu keadilan sosial segera digulirkan oleh pemerintah.
“Kesenjangan sosial yang terlalu lebar harus dipersempit agar bibit radikalisme yang ibarat ranting-ranting kering yang mudah terbakar, tidak mudah tersulut api,” tukas Yudi.
Tidak hanya pemerintah, pengusaha, konglomerat juga harus terlibat dalam mempersempit jarang kesenjangan itu. Menurut Yudi, isu kesenjangan sosial itu jangan hanya menjadi sesuatu yang diucapkan orang miskin saja, tapi juga butuh kepedulian orang-orang berduit karena kalau kesenjangan dibiarkan terlalu lebar, akan banyak konflik terjadi, juga ketegangan di masyarakat. Bila itu terjadi, maka iklim dunia usaha juga tidak kondusif dan dunia usaha bakal rugi.
“Jangan hanya pemerintah, swasta harus ikut terlibat dalam program capacity building terhadap mantan napiter dan korban. Utamanya dalam penyediaan lapangan pekerjaan,” pungkas Yudi Latif.