Jalan awal menuju media literasi
Beberapa hari terakhir ini ramai perbincangan tentang petisi yang meminta penutupan beberapa situs di internet yang terlalu sering menampilkan pemberitaan yang berisi konten bohong dan fitnah belaka. Petisi yang telah ditandatangani oleh 6000 orang lebih tersebut menyebut setidaknya 7 situs yang paling sering menebar berita tidak berkualitas dan tidak jarang bernada sarkas. Diantara situs yang dimaksud adalah PKSpiyungan.org, Pekanews.com, Intriknews.com, suaranews.com, jonru, fahrenheet.com, dan Fimadani.com.
Nama situs terkahir yang disebut di atas (Fimadani.com) belakangan menjadi perhatian setelah dengan begitu ‘polosnya’ mereka, diwakili oleh Ibrahim Vatih, mengeluarkan statemen yang berisi permintaan maaf. Dalam statemen tersebut dijelaskan pula bahwa mereka akan melakukan evaluasi dan berbagai perbaikan, salah satunya dengan menambahkan fitur tambahan “Konten Ini Bermasalah” di setiap post, sehingga pembaca bisa memberikan laporan (berikut pesan yang ingin disampaikan) terkait isi dari postingan Fimadani yang sedang dibaca. “Sistem kemudian akan menampilkan laporan itu di dashboard admin website, sehingga bisa dilihat oleh semua pengelola dan bisa segera diambil tindakan”, demikian janji Fimadani dalam permohonan maafnya, meskipun nyatanya sampai siang ini fitur itu belum juga ada.
Apa yang terjadi pada fimadani haruslah menjadi sebuah pembelajaran bersama untuk kita. Karena beredarnya banyak berita di media tidak jarang malah dapat mengaburkan fakta. Selalu ada orang-orang yang tidak senang jika masyarakat menjadi cerdas, karenanya isi pemberitaan disajikan secara culas dan tidak tuntas. Judul berita sengaja dibuat secara berlebihan hanya agar tampak lebih meyakinkan, sementara isi berita hanya disandarkan pada fakta tidak utuh (masih level “katanya”).
Upaya meminta maaf seperti yang telah dilakukan oleh pihak Fimadani tentu patut untuk kita apresiasi, karena tidak banyak orang atau lembaga yang sudi untuk melakukannya. Namun kita juga harus mengerti bahwa memaafkan tidak berarti melupakan. Berani untuk meminta maaf memanglah sesuatu yang terpuji, tetapi hal itu hanyalah permulaan. Terlebih karena kerugian dan kesengsaraan yang mungkin dirasakan oleh orang lain akibat kesalahan yang telah diperbuat tentu tidak dapat begitu saja diganti dengan sepenggal kata berbunyi “maaf”.
Pemberitaan sembrono situs Fimadani tentang Syaikh Ali Jum’ah yang mengatakan Al Quran tidak mengharamkan zina dan khamr misalnya, telah menimbulkan kepanikan dan tentu saja hujatan beserta makian kepada yang bersangkutan. Hal ini tentu merugikan ‘korban’ yang sebenarnya tidak melakukan kesalahan. Dalam permintaan maafnya pihak fimadani mengakui bahwa berita yang mereka sebarkan tidak berdasarkan pada sumber yang utuh, sehingga isi pemberitaan sangat jauh dari kejadian yang sebenarnya.
Baru-baru ini, Fimadani juga telah secara serampangan menampilkan berita yang memfitnah Wali Kota Solo dengan menyatakan bahwa beliau melarang acara buka bersama dan halal bil halal. Lagi-lagi, Fimadani mengakui bahwa mereka memang telah melakukan kesalahan dalam hal itu. Dua pemberitaan di atas hanyalah sedikit contoh dari berita-berita yang nyatanya tidak memberitakan.
Perkembangan pesat teknologi dunia maya saat ini memang telah banyak membantu masyarakat, terutama dalam hal mendapatkan informasi. Tetapi sikap kurang jeli justru kerap membuat masyarakat terjebak dalam prasangka akibat isi pemberitaan yang penuh sesak dengan dusta. Karenanya literasi media sudah harus menjadi kewajiban.
Secara sederhana, literasi media adalah adalah kemampuan untuk memahami, menganalisis, dan mendekonstruksi pencitraan media. Masyarakat, sebagai konsumen media (termasuk anak-anak), harus paham betul bagaimana cara media mengemas sebuah fakta menjadi berita (Lawrence Lessig, 2011). Paling tidak, dengan kejadian ini masyarakat dapat menjadi lebih waspada dalam menanggapi sebuah berita yang mereka terima.
Jangan sampai kita menjadi orang dengan pikiran dan sikap yang tercela gara-gara banyak membaca, karena membaca sendiri merupakan aktifitas yang sangat baik, namuk jika tidak berhati-hati dalam memilih bahan bacaan, bukan tidak mungkin kita termasuk dalam orang-orang yang lupa daratan.
Mari kita kembali pada upaya meminta maaf oleh pihak Fimadani. Meminta maaf memang hal mulia yang dapat dengan mudah dilakukan, hal sulit dari ‘rangkaian’ mendapat maaf adalah jaminan bahwa kesalahan serupa tidak akan terulang lagi. Kita tetap patut menghadiahi pihak fimadani dengan apriesiasi, meski di sisi lain masih juga terbersit curiga, kok baru minta maaf sekarang, setelah ada protes karena beberapa beritanya nggak beres, kemarin-kemarin kemana aja?
Bisa saja setelah ini situs-situs yang selama ini doyan sekali menebar berita bohong ikutan ‘latah’ dengan mengeluarkan statemen seolah mereka sedang benar-benar meminta maaf. Jikapun hal ini benar terjadi, tentu kita semua akan memaafkan, karena “memaafkan itu mulia, meminta maaf itu kesatria”, namun kita juga harus memahami bahwa maaf-memaafkan tersebut tidak berarti proses hukum berhenti. Kita memaafkan kesalahan yang telah terjadi, namun pelaku kesalahan tersebut harus tetap menerima sanksi.
Maka, baiklah Fimadani.com, saya memaafkan kesalahanmu, tetapi memori tentang kesalahan yang pernah secara serampangan kalian tampilkan akan tetap saya jaga agar kedepan saya, dan kita semua, dapat terus waspada.