Surabaya – Kiprah Ratrikala Bhre Aditya di perfilman nasional sudah cukup diakui, salah satunya ketika dia mengambil peran sebagai Asisten Sutradara di film Ada Apa Dengan Cinta 2. Seperti apa jika dia diminta melatih pelajar setingkat SMA dan sederajat dalam pembuatan video pendek.
Bhre, demikian pria 32 tahun itu biasa disapa, terlibat di program Pelibatan Pelajar SMA dan Sederajat dalam Pencegahan Terorisme yang diselenggarakan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) dan Forum Koordinasi Pencegahan Terorisme (FKPT). Tahun ini merupakan keterlibatan ketiga kalinya, setelah dua tahun sebelumnya secara berturut-turut dia juga ditunjuk menjadi mentor sekaligus juri dalam lomba.
“Saya menyebutnya ekstrimisme, sekarang kondisinya sangat mengkhawatirkan. Saya bangga bisa terlibat bagaimana video dijadikan sarana pencegahan ekstrimisme,” kata Bhre di sela Workshop Video Pendek BNPT di kampus Universitas Surabaya, Jawa Timur, Kamis (15/3/2017).
Bhre mengaku menggunakan pendekatan yang berbeda dalam kegiatan tahun 2018 ini. Ini karena alasan jumlah audiense yang bertambah dibandingkan pelaksanaan tahun-tahun sebelumnya, juga karena tuntutan bagaimana pengambilan dan pengerjaan video oleh pelajar tidak lagi menggunakan camcorder atau DSLR. “Anak-anak sekarang diminta membuat video dengan HP, edit juga di HP. Materi yang saya sampaikan juga beda,” ungkapnya.
Beberapa hal yang disampaikan kepada peserta kegiatan adalah pengenalan profesi di dunia perfilman, yang tidak hanya aktor, sutradara, produser, kameraman, pencahayaan, penata artistik, penata gaya dan pembantu umum.
“Ada yang namanya publishis. Dia tugasnya bagaimana video atau film dipromosikan, bagaimana agar film diterima dan disaksikan banyak penonton,” kata Bhre.
Yang menarik ketika Bhre menyebut bahwa otak dari sebuah produksi film tidak berada di tangan seorang sutradara, melainkan produser. Untuk memudahkan peserta menerima penjelasannya, dia mencontohkan bagaimana dosennya saat kuliah mengambarkan sutradara sebagai sosok yang banyak maunya namun terkadang tidak tahu apa yang dimauinya.
“Dosen saya menyebut produser adalah film maker utama. Di tangan dia duit produksi ditentukan dari mana dan bagaimana penggunaannya, siapa aktornya, bahkan film laku dijual apa tidak dia juga menentukan,” jelas Bhre. Meski demikian sutradara muda yang filmnya pernah ditayangkan di PBB dalam rangka Hari Air Sedunia tersebut tidak ingin masyarakat memandang remeh posisi sutradara. “Sutradara adalah orang yang isi otaknya paling tidak bisa ditebak. Dia harus memikirkan seperti apa gambar diambil, bagaimana posisi kamera, bahkan komposisi meja kursi di belakang objek. Semua harus dia
pikirkan agar nyambung,” urainya.
Terkait teknis, kepada peserta kegiatan Bhre mengenalkan pentingnya saling kenal di antara kru film, penentuan ide, pembuatan premis, penyusunan kerangka, hingga penuangannya ke dalam proses pengambilan gambar. Dengan bahasa yang lugas bahkan Bhre juga mempraktikkan bagaimana pengaturan pencahayaan agar gambar yang dihasilkan berkualitas.
Membuat film adalah kerja kolaboratif. Semua kru harus bertanggung jawab pada tugasnya masing-masing,” tegas Bhre.
Tentang bagaimana video memiliki fungsi dalam pencegahan radikalisme dan terorisme, Bhre menjelaskannya bagaimana semua indra difungsikan ketika kita menyaksikan sebuah film atau video. Situasi tersebut secara langsung dan tak langsung akan mempengaruhi pola pikir dalam menyikapi radikalisme dan terorisme.
“Berbeda dengan tulisan. Orang yang membaca masih harus mencerna untuk mengetahui isi dan maknanya. Tapi film mata langsung melihat, suara didengar telinga, alur cerita ditafsirkan otak, bahkan emosi bisa ikut dimainkan,” tutup Bhre.
BNPT dan 32 FKPT pada tahun 2018 kembali melaksanakan Lomba Video Pendek yang menjadi metode dari kegiatan Pelibatan Pemuda dalam Pencegahan Terorisme. Kegiatan ini merupakan salah satu bentuk soft approach yang dijalankan BNPT dalam pencegahan terorisme. [shk/shk]