Sebagai sebuah tindak kejahatan luar biasa (extra ordinary crime), terorisme merupakan bahaya laten yang memerlukan penanganan tepat namun juga cepat. Tepat agar kasus ini tidak terus-terusan mengendap dan menjadi bom waktu yang dapat meledak sewaktu-waktu, cepat agar permasalahan ini tidak merembet kemana-mana. Jika diamati dengan lebih seksama, terorisme adalah bagian kecil dari sesuatu yang lebih berbahaya yang ada di belakangnya, yakni radikalisme. Sebuah pola pikir yang mengira tuhan akan senang melihat umatnya rajin melakukan kekerasan.
Jika terorisme bersarang pada ranah aksi, radikalisme menyusup dalam bentuk ideologi. Pada tataran ini, radikalisme mendorong orang untuk melakukan berbagai kejahatan yang mereka kaburkan dibalik pemaknaan sempit atas ajaran agama. Radikalisme –dalam konteks ini—bukan saja melukai fisik, tetapi juga menggerogoti kewarasan dan rasa kemanusiaan. Alih-alih berbuat baik terhadap sesama, orang-orang yang telah keracunan radikalisme cenderung lebih sibuk membuat kerusakan di mana-mana.
Di negeri ini kita masih dapat menyaksikan secara bebas para pemuja kekerasan menyebarkan pandangan piciknya dengan bungkus agama. Hal ini dapat disaksikan misalnya, dari aksi para pendukung ISIS yang bebas berkeliaran di kota-kota besar seperti Solo, Jakarta, Klaten, dll.
Tidak sedikit pula orang yang semakin berani untuk terang-terangan mengaku sebagai tentara ISIS dan melakukan baiat kepada ISIS, mereka pun mendapat liputan dari media. Hal ini belum termasuk orang-orang yang kembali dari gerombolan ISIS di Irak dan Suriah (Returnis ISIS), yang tentu saja ksemuanya itu merupakan bom waktu yang dapat meledak kapan saja.
Sayangnya, hingga saat ini negara masih belum memiliki pijakan hukum yang kuat untuk mengatasi perkara ini; segala hal yang masih berada dalam level ideologi (bukan aksi) tidak akan dikenakan sanksi. Hal ini di satu sisi merupakan kabar baik, karena dengan ini negara tidak membatasi warganya untuk bebas berpikir dan berpendapat, namun di sisi lain hal ini juga memberi ruang kepada oknum-oknum tertentu untuk terus-terusan menebar narasi-narasi kekerasan berisi ajakan permusuhan dan perpecahan.
Karenanya, apa yang begitu mendesak dibutuhkan saat ini dalam rangka mencegah agar kekerasan atas nama agama tidak perlu terjadi lagi adalah kriminalisasi teror baru. Hal ini termasuk hatespeech, cyber crime, baiat atau dukungan terhadap kelompok-kelompok teroris anti NKRI, dsb. Negara pun harus tegas menindak para perusuh itu mulai dengan melakukan pembekuan aset, penahanan, hingga pencabutan kewarganegaraan.
Meski demikian, pendekatan lunak tetap sangat diperlukan, karena melalui pendekatan ini negara berusaha untuk melindungi dan mendidik masyarakatnya agar tidak terpengaruh oleh tipu daya radikalisme-terorisme. Negara bertanggungjawab terhadap keamanan dan kenyamanan penduduk Indonesia, karenanya pendekatan lunak diperlukan untuk melakukan hal itu. Hal ini meliputi pula penertiban terhadap media, negara harus bisa mengembalikan fungsi utama media, yakni memberitakan, bukan malah membutakan. Media tidak boleh lagi melakukan glorifikasi terhadap radikalisme dan terorisme, mereka harus jujur memberitakan, agar masyarakat dapat tetap tenang dan tentram, tidak termakan berita pinggiran.
Namun negara juga perlu bersikap tegas terhadap oknum-oknum yang jelas-jelas memusuhi kedaulatan NKRI, karena State cannot lose to loosers!