Palu – Munculnya paham radikal dan teror yang mengatasnamakan agama disebut direktur Deradikalisasi BNPT, Prof. Irfan Idris sebagai akibat dari kesalahan dalam memahami ajaran-ajaran agama yang sebenarnya. Ini disampaikannya saat mengisi Dialog Pelibatan Masyarakat dalam mencegah paham radikal dan terorisme melalui perspektif sosial dan budaya di Palu, Sulawesi Tengah, hari ini, Sabtu (21/08/16).
Ia juga menambahkan bahwa agama hadir untuk menghentikan kekerasan, bukan malah menjadi awal dari kekerasan, karenanya penggunaan agama sebagai legitimasi tindak-tindak kekerasan tidak dapat dibenarkan. “Tidak ada satupun agama yang mengajarkan radikalisme, karena semua agama merindukan damai dan mengagungkan cinta kasih. Begitupun dengan Islam yang rahmatan lil alamin (berkah semesta alam, red). Jadi, tidak ada yang dikatakan membantai sesamanya, yang ada adalah kita sepakat untuk memerangi radikalisme dan terorisme,” ungkapnya.
Irfan juga menjelaskan bahwa radikalisme dan terorisme muncul tidak semata karena urusan kesalahan dalam memahami ajaran agama, tetapi juga karena faktor-faktor lain, seperti kesenjangan sosial, kesulitan ekonomi, dll., Karenanya ia menghimbau kepada sekitar 200-an peserta yang menghadiri dialog kali ini untuk ikut ambil bagian dalam mencegah penyebaran paham radikal yang sangat meresahkan ini.
Terkait pemilihan lokasi kegiatan, Irfan menegaskan bahwa Poso bukan daerah rawan. “Sebenarnya, orang Palu dan Poso tidak ada yang radikal, hanya saja dimanfaatkan wilayahnya karena wilayah ini bekas daerah konflik dan digoreng pula oleh media, sehingga orang Palu dan Poso tampak radikal dan mengerikan, padahal orang Palu dan Poso ramah-ramah dan murah senyum,” jelasnya.
Di akhir paparan, ia mengajak masyarakat untuk fokus pada ajaran agama yang damai dan positif. “Mari kita satukan nilai-nilai agama yang mengajarkan cinta kasih tersebut sehingga kita tidak salah dalam memahami ajaran agama dan malah mendukung terorisme, karena kita tidak membenarkan yang biasa, melainkan membiasakan yang benar.”