Jakarta – Dengan adanya kemajuan teknologi informasi yang cukup pesat didukung berbagai platform media sosial (medsos) pada era sekarang ini seharusnya bisa untuk mempererat dan memperkuat persahabatan dan tali silaturahim. Bukan malah sebaliknya yang sekarang ini keberadaan medsos malah sering disalahgunakan sehingga menjadi alat perpecahan.
Hal tersebut dikatakan Ketua Umum Lembaga Persahabatan Ormas Islam (LPOI) yang juga Ketua Umum Lembaga Persahabatan Ormas Keagamaan (LPOK), Prof. Dr. KH. Said Aqil Sirodj, MA, saat memberikan tausiah pada acara buka puasa bersama pengurus LPOI-LPOK yang berlangsung di sekretarian LPOI-LPOK, Jakarta, pada Kamis (22/4/2021) malam.
“Dengan kemajuan teknologi informasi, dengan kemajuan media sosial bukan menjadi tambah bersahabat, tambah dekat. Seharusnya alat medsos itu untuk mempererat dan memperkuat persahabatan tapi malah sering menjadi alat perpecahan. Menjadi penyebab perpecahan itu ada dari medsos. Tentunya ini sangat terbalik 180 derajat,” ujar Ketua Umum LPOI-LPOK, Prof Dr. Said Aqil Siradj, MA..
Karena sejatinya menurutnya dengan adanya medsos itu akan semakin memudah silaturahim, semakin mudah memperkuat dan mempererat persaudaraan. Yang mana seharusnya dengan adanya medsos juga akan semakin mudah antar umat manusia untuk melakukan tukar-menukar inspirasi atau pendapat.
“Tapi sekarang medsos itu malah dijadikan sumber hoax, fitnah sumber caci-maki dan sebagainya. Tentunya hal ini sangat berbahaya sekali. Jangan sampai bangsa ini menjadi bangsa yang penggemar hoax. Tentu itu yang kita khawatir kan. Karena hal itu tidak ada ajaran di agama yang membenarkan itu semua,” ujarnya.
Hal tersebut menurut Kia Said tentu adalah pelajaran bagi kita semua. Menurutnya, memperkuat dan meningkatkan semangat silaturahim lebih dibutuhkan. Apalagi antar yang berbeda agama, lebih penting agar sering-sering untuk meningkatkan pertemuan dan komunikasi secara langsung. Ia berpendapat bahwa jika sampai kehilangan saling pengertian maka akan ada intoleran. Kalau sudah intoleran maka menjadi radikal. Kalau sudah menjadi radikal maka jadi teroris.
“Terus terang saja kalau di Islam ada yang namanya Wahabi. Yang mana Wahabi itu intoleran tapi bukan teroris. Intoleran dan suka mengatakan ini salah itu salah, ini sesat, ini musyrik, ini bid’ah. Memang bukan teroris, tapi kalau kita ikut mereka atau orang ikut mereka, langsung menjadi radikal atau ekstrem,” terang Kai Said.
Untuk itu menurutnya silaturahim ini tidak ada artinya atau kurang berarti kalau tidak diteruskan menjadi Silatul Fikri atau hubungan menyamakan persepsi, menyamakan pendapat, menyamakan ide, gagasan kedepan seperti apa. Yang mana kita sudah sepakat bahwa NKRI, Pancasila, Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 dan Bhinneka Tunggal Ika untuk memperkuat persamaan pendapat itu.
“Mari kita perkuat persepsi itu. Ideologi itu. sudah tidak ada lagi kesempatan bagi orang untuk mempermasalahkan Pancasila,” ujarnya.
Lebih lanjut, ia menyampaikan bahwa bangsa Indonesia yang dudah mendapatkan warisan dari para leluhur, yakni Pancasila, Undang-Undnag Dasar (UUD) 1945 dan Bhineka Tunggal Ika, tentunya tidak boleh lagi mengotak-atiknya. Karena menurutnya, Indonesiaini adalah negara kebangsaan, bukan negara agama. Namun demikian penduduknya harus beragama.
“Kita bukan negara agama yang berkitab suci pada agama, tetapi penduduknya harus memeluk agama. Itu yang harus dipahami,” tegas alumni Universitas Umm Al-Qura, Saudi Arabia ini.
Selain itu, ia juga menambahkan bahwa terkait mayoritas atau minoritas itu hal yang sama saja asal beragama. Tidak ada ukuran mayoritas ataupun minoritas dalam hal orang beragama. Karena kalau sudah beragama, maka sudah sah menjadi warga negara Indonesia, apapun agamanya.
“Kemudian kalau ada orang yang anti Pancasila bagaimana? Ya tentunya harus dilakukan tindakan tegas, jangan ragu-ragu. Kalau ada barang siapa yang suruh tidak suka dengan NKRI, tidak suka dengan Pancasila ya silakan saja, tidak melarang, tapi hidupnya tidak di Indonesia. Ya silahkan di Afghanistan sana yang terus menerus berkonflik,” ucapnya.
Kyai Said juga menyebut setelah melakukan Silatul Fikri lalu ditingkatkan menjadi Silatul A’mal, yakni kerjasama yang nyata, team working, jaringan kerjasama antar ormas, antar kita semua sebagai kekuatan Civil Society. Ia mencontohkan bahwa di timur tengah tidak ada organisasi yang sekuat seperti di Indonesia ini. Adanya organisasi masjid, masjid A, Masjid B, tapi kecil. Sementara ia menyebut kalau di Eropa organisasinya gereja.
“Di negara kita ada Nahdlatul Ulama, ada Muhammadiyah, Persatuan Islam, Al Irsyad al Islamiyah, Ittihadiyah, Perti, Mathlaul Anwar dan lainnya, sebagai Civil Society yang sangat luar biasa yang mana itu semua adalah organisasi non politik. Dimana ormas-ormas itu untuk menjaga pilar menjaga keutuhan masyarakat kita ini. Jadi syukur Alhamdulillah negara ini punya ormas sebanyak itu,” ujarnya.
Oleh karena itu menurutnya, bangsa ini punya budaya, dan agama harus dibangun di atas infrastruktur budaya. Sehingga menurutnya, kalau budayanya langgeng maka agamanya menjadi kuat. Karena agama ini tentunya tidak akan kuat tanpa adanya budaya dan budaya tak punya nilai tanpa agama.
“Yang terakhir puncak dari Silatul ini adalah Silaturahim, hubungan spiritual, bukan sekedar tatap muka atau hubungan menyamakan persepsi. Tidak penting itu partainya apa atau ormasnya apa, suku apa, tidak penting agamanya apa. Tetapi yang penting namanya manusia yang punya spiritual dan punya Spirit turunan Adam, mari kita perkuat persatuan. Inilah yang disebut Ukhuwah insaniyah yaitu persaudaraan antar sesama umat manusia,” ujarnya mengakhiri.
Para tamu undangan yang turut hadir pada acara tersebut yaitu Deputi I bidang Pencegahan, Perlindungan dan Deradikalisasi BNPT, Mayjen TNI. Hendri Paruhuman Lubis, Wakil Kepala Badan Intelijen dan Keamanan (Waka Baintelkam) Polri Irjen Pol Drs. Suntana, M.Si, Direktur Pencegahan BNPTBrigjen Pol. R. Ahmad Nurwakhid, SE, MM, Direktur Sosial Budaya (Dirsosbud) Baintelkam Polri Brigjen Pol Arif Rahman, SH, serta para tokoh-tokoh pemuka lintas agama ataupun pengurus yang tergabung dalam LPOI dan LPOK.