Media Inggris Daily Mail Sebut Egianus Kogoya Teroris Psikopat

London – Pemimpin kelompok kriminal bersenjata (KKB) Papua, Egianus Kogoya , yang menculik dan menyandera pilot Susi Air sebagai teroris psikopat. Penilaian itu disampaikan media asal Inggris, Daily Mail merujuk pada aksi pembantaian yang dilakukan Kogoya dan kelompoknya terhadap para pekerja konstruksi pada tahun 2018 lalu.

Terkini, KKB pimpinan Egianus Kogoya menculik dan menyandera pilot Susi Air asal Selandia Baru, Philip Mehrtens (37), setelah terbang untuk menyelamatkan pekerja konstruksi yang diancam akan dibunuh. Dia diculik pekan lalu oleh pemberontak separatis itu, yang menyerbu pesawat bermesin tunggal milik maskapai Susi Air tak lama setelah mendarat di landasan kecil.

Mehrtens sekarang ditahan sebagai alat tawar-menawar untuk meningkatkan upaya pemberontak untuk merebut kemerdekaan dari Indonesia. TPNPB merilis foto-foto dan video Mehrtens mengangkat tinjunya seolah-olah menunjukkan solidaritas kepada mereka dan berkata dalam Bahasa Indonesia yang terbata-bata: “Militer Indonesia harus pergi. Jika mereka tidak pergi, saya tidak akan dibebaskan.”

Dalam bahasa Inggris, pilot itu mengatakan: “Gerakan Papua Merdeka telah menangkap saya. Militer Papua telah menawan saya dalam upaya memperjuangkan kemerdekaan Papua.”

“Mereka telah meminta militer Indonesia untuk pulang kembali ke Indonesia dan jika tidak saya akan tetap ditawan atau hidup saya terancam,” katanya.

Kogoya terlihat memegang tangan Mehrtens selama video ‘bukti kehidupan’ yang mengerikan di mana kelompok pemberontak bersenjatakan senapan mesin, tombak dan busur serta anak panah menyerukan militer Indonesia untuk meninggalkan provinsi tersebut.

“Pemberontak yang mengenakan sepatu bot di balik penangkapan seorang pilot Selandia Baru di Papua Barat yang terpencil adalah teroris ‘psikopat’ berusia 23 tahun yang kelompok separatisnya dilaporkan bertanggung jawab atas salah satu pembantaian terburuk di kawasan itu,” tulis Daily Mail, merujuk pada foto yang dirilis KKB yang menunjukkan kondisi pilot Susi Air asal Selandia Baru Phillip Mehrtens (37) yang dipantau pada Kamis (16/2/2023).

Menurut Daily Mail, KKB bertanggung jawab atas pembantaian di Nduga yang terkenal pada tahun 2018 lalu. Saat itu, 31 pekerja PT Istaka Karya yang tengah membangun jembatan Habema-Mugi di Kabupaten Nduga, Papua, ditangkap, disandera, dan dibantai.

“Nduga adalah wilayah yang sama di mana TPNPB menerima tanggung jawab atas pembantaian 2018 terhadap pekerja pembangunan jembatan yang disandera pada Hari Papua Merdeka dan ditembak mati,” tulis Daily Mail.

Dalam video lain, Kogoya secara pribadi bersikeras bahwa Mehrtens aman dan mendesak militer Indonesia untuk tidak melakukan operasi penyelamatan.

“Saya akan memastikan keselamatannya, jadi Indonesia tidak boleh menggunakan senjatanya dari atas atau di darat. Jika pilot bersama saya, dia akan aman,” katanya.

Kogoya sebelumnya mengecam, bahkan pada para politisi yang mengaku berjuang untuk tujuan yang sama, Papua Barat yang merdeka. “Kami berjuang mati-matian di hutan untuk Papua merdeka, tetapi Anda yang tinggal di luar negeri mengaku sebagai diplomat, tetapi hanya untuk kepentingan mencari keuntungan dari kami,” kata Kogoya.

Kelompok TPNPB-nya juga telah memperingatkan setiap orang asing yang memasuki 12 zona perang yang dinyatakan di Dataran Tinggi Papua dan provinsi Papua Tengah akan dianggap sebagai target sandera yang sah.

Dalam laporannya, Daily Mail juga mengutip pernyataan Menteri Koordinator Bidang Politik, Keamanan, dan Hukum Mahfud MD yang mengatakan pemerintah melakukan segala upaya untuk membujuk para pemberontak agar membebaskan Mehrtens karena prioritasnya adalah keselamatan para sandera.

Sementara Kementerian Luar Negeri dan Perdagangan Selandia Baru mengatakan dalam sebuah pernyataan: “Kami mengetahui foto dan video yang beredar tetapi tidak akan berkomentar lebih lanjut pada tahap ini.”

Sedangkan Kapolda Papua Mathius Fakhiri mengatakan kepada wartawan di Jayapura, bahwa mereka berusaha untuk mendapatkan kebebasan pilot dengan melibatkan beberapa tokoh masyarakat, termasuk tokoh suku dan gereja, untuk membangun komunikasi dan negosiasi dengan pemberontak.