Jakarta – Media harus menjadi sumber informasi terpercaya bagi masyarakat, terutama menyikapi banyaknya hoax (berita bohong) yang marak di tengah mewabahnya virus Corona atau Covid-19. Namun itu juga harus didukung dengan keterbukaan berbagai pihak dalam memberikan data dan informasi yang benar, bukan data-data yang tidak valid dan terkesan disembunyikan.
“Media harus menjadi semacam clearing house (rumah penjernih) ketika ada informasi-informasi yang membuat orang panik, membuat orang kemudian melakukan aksi panic buying dan seterusnya. Di sini peran media, terutama media mainstream, media cetak, televisi dan juga online yang kredibel harus menjelaskan duduk perkaranya seperti apa,” ujar mantan Ketua Dewan Pers Yosep Adi Prasetyo di Jakarta, Rabu (1//4/2020).
Ia mengungkapkan, sebenarnya media bisa didorong untuk menyampaikan informasi yang positif kepada masyarakat asal pemerintah juga mau terbuka soal informasi sebenarnya. Sejauh ini, Yosep menillai ada kesan informasi tentang virus Corona agak tertutup dan hirarkinya berjenjang dari bawah ke atas yang prosesnya lama sekali. Ini berbeda dengan sistem tranparansi yang diterapkan di Singapura, di mana yang dinyatakan positif covid-19 itu diumumkan kepada publik sehingga orang yang merasa pernah kontak dengan yang bersangkutan datang ke rumah sakit melakukan pengecekan diri.
Yosep meyayangkan hal tersebut tidak dilakukan di Indonesia. Contohnya saat menyebut suspek 01 atau 02 pada kali pertama diumumkan di Indonesia. Alhasil publik tidak tahu dia siapa, tinggalnya di mana dan pernah berpergian ke mana saja sehingga membuat masyarakat was-was.
“Menurut saya sistem pengelolaan informasi seperti ini memang ada untung ruginya. Tetapi kalau identifikasi terhadap suspeknya itu ditutup yang terjadi adalah munculnya hoax, kepanikan dan seterusnya. Tapi kalau informasinya dibuka, kemudian kesempatan untuk rapid test itu dibuka seluas-luasnya, orang tentu akan lebih tenang,” tuturnya.
Menurutnya hoax-hoax itu harus dibantah dengan menanyai sumber-sumber resmi seperti pemerintah dan pihak terkait. Sejauh ini hoax terkait covid-19 ini sudah sangat banyak. Kominfo telah mencatat 385 hoax terkait korona dan sudah di take down. Seperti yang terjadi pada kasus Ikatan Dokter Indonesia (IDI) kemarin yang merasa pernyataannya dipelintir oleh media.
“Saya sendiri tidak tahu apakah di internal IDI yang pecah atau memang media yang memelintir pernyataannya. Karena saya lihat di medsos juga ada peryataan dari IDI yang menyatakan mogok tersebut, Kalau media memang yang memelintir harusnya IDI melaporkannya kepada Dewan Pers, sehingga Dewan Pers bisa memanggil media-media yang dianggap memilintir itu. Jadi IDI juga harus clear menjelaskan tentang duduk perkara ini karena menimbulkan kepanikan di masyarakat,” terangnya.
Lebih lanjut, salah satu pendiri Aliansi Jurnalis Independen (AJI) ini mengatakan bahwa media juga bisa digunakan untuk mengedukasi masyarakat terkait kebijakan pemeritah dalam mengatasi pandemi Corona ini.
“Cuma memang kebijakan seperti social distancing kan juga terkait dengan ketersediaan seperti Sembako dan kebutuhan masyarakat lainnya. Ada juga kebutuhan ekonomi misalnya ojek online (ojol) yang tidak mungkin menerapkan social distancing karena penumpang dengan ojolnya kan bersebelahan. Jadi menurut saya ada masalah ekonomi, ada dimensi logistik disitu, ada macam-macam termasuk adalah sarana transportasi dan seterusnya yang perlu juga dipikirkan,” papar Yosep.
Karena itu, agar masyarakat bisa menaati imbauan pemerintah terkait Corona ini, harus melibatkan unsur masyarakat dan juga media sebagai penyampai informasi.
“Penanganan Covid-19 ini juga harus melibatkan unsur masyarakat, jangan seolah-olah perang terhadap Covid-19 ini urusan pemerintah saja tapi ini adalah urusan public. Partisipasi masyarakat harus dibuka, media harus diberi kesempatan untuk memberikan pengawasan dan peringatan-peringatan kepada publik,” pungkas Yosep.