Masyarakat Wajib Waspada Radikalisme Digital Terutama via Media Sosial

Jakarta – Dunia digital menjadi ladang subur penyebaran radikalisme. Penyebaran konten-konten yang bertujuan memecah belah dan mengadu domba anak bangsa sangat masif. Karena itu, seluruh waspada wajib waspada terhadap digital radicalization atau radikalisme digital.

Kepala BNPT Komjen Pol. Rycko Amelza Dahniel meminta masyarakat mewaspadai berbagai paham yang tidak bisa menerima perbedaan. Dia juga mengingatkan warga untuk waspada terhadap paham radikalisme di media sosial.

“Yang paling penting adalah sekarang ini kita perlu mewaspadai berbagai paham ya. Apalagi paham yang mengajarkan tentang tidak bisa menerima perbedaan, mengajarkan paham-paham yang menentang daripada pemerintahan sah seperti ini, paham-paham yang akan merusak bangsa ini,” ujar Kepala BNPT di Jakarta, Minggu (20/7/2023).

Hal itu diutarakan Rycko dalam rangkaian acara HUT ke-13 BNPT di Thamrin 10, Menteng, Jakpus yang jatuh pada 16 Juli lalu. Acara itu mengusung tema ‘BNPT Akan Selalu Hadir untuk Negeri Kita Ini untuk Menuju Indonesia yang Damai dan Harmoni untuk Mempersiapkan Indonesia Emas’. Berbagai kegiatan digelar untuk menyemarakkan HUT ke-13 BNPT. Antara lain jalan santai, senam, lomba mural yang diikuti 26 peserta dari berbagai daerah. Adapun malam puncak HUT BNPT ke-13 akan diadakan pada 28 Juli mendatang.

Rycko memperingatkan seluruh elemen bangsa dan para pemuda untuk berhati-hari dengan ajakan individu ataupun kelompok. Termasuk mengikuti kegiatan keagamaan ataupun ajaran yang informasinya disebarkan melalui online itu dapat disebut digital radicalization atau radikalisme digital.

“Persatuan demi persatuan sudah kita ikat selama ini. Oleh karena itu, bagi seluruh elemen bangsa para pemuda hati-hati dengan berbagai ajaran, ajakan, baik secara langsung online tatap muka ngobrol satu berdua, bertiga, berkelompok termasuk mengikuti dalam mengikuti kegiatan-kegiatan keagamaan,” ujarnya.

“Kemudian, ajaran-ajaran berbagai informasi disiarkan menggunakan online yang sekarang disebut sebagai digital radicalization online radicalization,” lanjutnya.

Rycko menuturkan radikalisme digital dinilai berbahaya karena saat ini konten-konten mudah disebarluaskan dan dikemas untuk mengajarkan sulitnya menerima perbedaan. Sebab, ajaran itu akan menyebarkan rasa paling benar, memaksakan, serta mengajarkan rasa kebencian terhadap kelompok lain.

“Ini sungguh sangat berbahaya karena di zaman 4.0 ini zaman digitalisasi ini semua konten-konten bisa masuk di berbagai wajah dengan berbagai kemasan yang ujung-ujungnya nanti akan mengajarkan sulit untuk menerima perbedaan. Merasa paling benar sendiri, memaksakan suatu kehendak ya, dengan menggunakan kekerasan,” ungkapnya.

Rycko mengatakan ajaran rasa kebencian itu akan berujung pada tindak kekerasan untuk membenturkan anak bangsa. Apalagi, ajaran itu dikemas menggunakan simbol atribut agama.

“Mengajarkan rasa kebencian terhadap kelompok-kelompok lain, kemudian nanti ujung-ujungnya itu tadi, dilakukan kekerasan supaya anak bangsa ini berbenturan dan merusak rasa kesatuan kita. Apalagi kalau ajaran itu dikemas dengan menggunakan simbol-simbol dan atribut agama,” ujarnya.

Rycko menuturkan tak ada satu agama pun di dunia mengajarkan tentang kekerasan ataupun tidak menerima perbedaan. Semua agama, tambahnya, mengejarkan kasih sayang.

“Tidak ada satu agama pun di dunia yang mengajarkan tentang kekerasan yang tidak bisa menerima perbedaan. Semua agama itu mengajarkan kasih sayang. Intinya adalah semua agama itu adalah mengajarkan kasih sayang kalo semua itu sudah betul paham semuanya. Ada yang coba-coba untuk mengajarkan, mendekati kita dengan mengajarkan kekerasan kalo kita memiliki kekuatan daya tahan itu semua,” pungkas Rycko.