Solo – Masyarakat Indonesia resistensi terhadap terorisme masih kuat. Hal itu akibat masih adanya narasi bahwa umat islam dan intoleransi lainnya. Narasi keagamaan kelompok teror antara lain orang yang tidak memakai syariat Islam adalah kafir, agama selain Islam ditolak, orang bukan muslim najis, dan pejuang di jalan Allah pasti mendapatkan pertolongan-Nya dan syuhada tidak pernah mati di mata Allah.
Direktur Pencegahan BNPT Brigjen Pol. Ir. Hamli, ME mengatakan akibat resistensinya itulah ancaman radikalisme dan terorisme itu masih menjadi momok di tengah masyarakat. Pernyataan diungkapkan saat menjadi narasumber Dialog Lintas Agama dalam Pencegahan Paham Radikal Terorisme se-Wilayah Jawa Tengah di Solo, Rabu (24/5/2017).
Menurutnya, dari riset Wahid Institute terhadap masyarakat muslim di Indonesia, hasilnya 72 % menolak radikalisme, 7,7% bersedia melakukan radikalisme dan 0,4% sudah pernah melakukannya. Hasil yang tidak jauh beda juga didapat dari survei Setara Institute dan survei terhadap Takmir Masjid. Kemudian dari Riset tahun 2012 terhadap napi di Indonesia, Filipina, Malaysia, Singapura dan Mesir, motivasi terorisme 45,5% karena pemahaman agama yang keliru.
“Angka ini cukup signifikan. Para tokoh agama yang disini harus memahami ini untuk membantu memberikan pemahaman agama yang benar,” ungkap Brigjen Hamli.
Saat ini, kata Hamli, organisasi terorisme terbesar di dunia adalah Al Qaeda dan ISIS. Saat ini Al-Qaeda sedang tidur dan sekarang yang aksi adalah ISIS. Terakhir, ISIS melakukan teror bom di konser musim Ariane Grande di Manchester Inggris, kemarin. Tersangka bom itu diketahui anggota ISIS berusia 22 tahun bernama Salman, warga Inggris keturunan Lybia.
Di Indonesia ada Jamaah Anshorut Daulah dan Khilafah yang berafiliasi ke ISIS. Brigjen Hamli menjelaskan, ISIS di Indonesia masih terus berkiprah dan melakukan penyerangan kepada orang yang berbeda dengan mereka.
Lebih jauh lagi, Brigjen Hamli memaparkan bahwa pola radikalisme terbagi menjadi dua yaitu offline dan online. Sementara metode penyebaran paham radikal melalui propaganda, perekrutan, penyebaran paham dan pelatihan. Selain itu ada tiga faktor yang berkontribusi langsung terhadap sosial keagamaan yaitu Ideologi dan ajaran agama yang bersifat kekerasan, partisipasi dan dukungan terhadap organisasi radikal serta perasaan terpinggirkan kolektif.
Brigjen Hamli juga menyoroti generasi muda sebagai target utama radikal terorisme. Contohnya anak-anak muda yang terkait radikalisme dan terorisme seperti Zefrizal Nanda Mardani, Ryan Eka Septiawan, Siti Lestari, Wildan Mukhollad, Bahrumsyah, Nur Rohman, dan Katibah Gigih Rahmat.
Pada kesempatan itu, Brigjen Hamli juga menyampaikan strategi nasional penanggulangan terorisme yang dilakukan BNPT dengan melakukan pendekatan lunak (soft approach) dan keras (hard approach). Pendekatan keras dilakukan dengan penegakan hukum, operasi aparat intelijen, pembinaan kemampuan aparat dan pelatihan kesiapsiagaan. Pendekatan lunak dengan melakukan kontra radikalisasi dan deradikalisasi.
“Kontra radikalisasi dilakukan dengan sasaran masyarakat. Deradikalisasi dilakukan melalui pembinaan didalam dan luar lapas. Pembinaan didalam lapas dengan sasaran narapidana terorisme. Sedangkan Pembinaan diluar lapas dengan sasaran keluarga, jaringan dan kelompok radikalisme,” jelas Brigjen Hamli.