Jakarta- Rabu, 27 Juni 2018, Indonesia menjalani sejarah baru dalam berdemokrasi melalui pelaksanaan pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak gelombang ketiga di 171. Momentum kontestasi politik ini harus diikuti dengan kematangan masyarakat dalam berpolitik dengan menjadi pemilih yang cerdas agar terwujud proses Pilkada yang baik dan berkualitas untuk Indonesia damai.
“Nilai dari sejarah Pilkada ini apakah kita dapat mampu melakukan Pilkada yang damai di daerah lumbung suara, di mana masyarakatnya menjadi pemilih yang rasional, pemilih yang cerdas dan minim sengketa Pilkada. Perlu disadari semakin minimnya sengketa atau bahkan keributan itu menunjukkan kematangan masyarakat dalam berpolitik” demikian ditegaskan Peneliti senior LIPI, Siti Zuhro di Jakarta, Rabu (27/6/2018).
Momentum Pilkada ini, lanjut Siti Zuhro, merupakan ukuran bagi bangsa ini dalam melaksanakan demokrasi yang berkualitas. Diharapkan melalui proses Pilkada serentak ini tidak hanya berjalan dengan damai tetapi mampu menghasilkan pemimpin daerah yang berkualitas dengan mendedikasikan diri untuk kesejahteraan warga didaerahnya.
Menurutnya, dalam setiap proses kontestasi politik apalagi Pilkada yang digelar secara serentak ini selalu mengandung kerentanan risiko berupa gesekan antar pendukung. Kalah dan menang selalu menjadi hasil yang kadang tidak bisa disikapi secara arif dan bijak oleh para kontestan. Inilah salah faktor yang justru mendorong kerentanan di tingkat akar rumput.
“Setiap calon pemimpin pasti memiliki masa atau pengikutnya masing-masing. Kalau antara kelompok yang memiliki massa bertemu dengan kelompok yang memiliki massa bertemu ini dapat berpotensi menghasilkan kerusuhan apabila salah satu dari mereka ada yang tidak lapang dada dalam menerima kekalahan.” tutur Zuhro.
Apalagi, saat ini politik adu domba melalui hoax dan ujaran kebencian (hate speech) begitu mudah terjadi, terutama melalui media sosial. Karena itu, para pemilih harus cerdas dan dewasa dalam menyikapi hasil Pilkada. Belum lagi, bila momentum Pilkada ini dimanfaatkan kelompok-kelompok radikal yang ingin memecah belah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Untuk itu, Zuhro berharap kepada para calon harus mempunyai tanggungjawab moral yang besar untuk mewujudkan pilkada yang mencerdaskan dan damai. Para kontestan harus menunjukkan jiwa tanding yang satria yang siap menang dan kalah. Para kontestan tidak harus berprinsip asal menang dengan menghalalkan segala cara dengan mengorbankan masyarakat bawah.
Ia menilai, tingkat kecerdasan para elit politik dan para kontestan sebenarnya akan menjadi kunci untuk membangun tingkat kecerdasan masyarakat dalam berpartisipasi dalam Pilkada. Potensi konflik horisontal pasca Pilkada justru menjadi menjadi pekerjaan rumah bagi semua pihak. Rasa ketidakpuasan dan ekspresi kekecewaan masyarakat dalam hasil pemilihan harus mampu dikelola secara positif agar tidak menjurus pada konflik horisontal yang meluas.
“Ekspresi kekecewaan ini menurut saya bukan semua dari masyarakat. Tapi rasa ketidakpuasan para calon yang tidak bisa berlapangdada menerima kekalahan dan akhirnya membawa masanya untuk berdemo. Di sini yang harus dibenahi, Indonesia butuh pemimpin dan elit politik yang bisa berbesar hati, agar keributan, apalagi dalam pemilihan ini dapat dihindari.” ungkap Zuhra.
Ia menegaskan bahwa sistem demokrasi yang ditetapkan di Indonesia mulai tahun 1998 melalui Pemilu, Pilpres, Pilkada secara langsung dari rakyat untuk rakyat ini harus bisa dipertanggungjawabkan agar dapat mewujudkan Pilkada yang damai dan berkualitas. Semua proses yang dilalui ini harus menjadi pelajaran berharga bagi bangsa ini untuk melaksanakan demokrasi yang tidak hanya berkualitas, tetapi minim konflik dan pergesekan sosial.
“Kuncinya adalah membangun rasa saling percaya dan saling menghormati sesama calon pemimpin dalam proses demokrasi agar terwujud sistem yang damai dan tenang.”tutup Zuhro.