Jakarta – Masyarakat Indonesia tidak perlu terpengaruh dengan keputusan parlemen Israel yang beberapa waktu lalu telah mengesahkan Undang-Undang (UU) terkait Negara Bangsa Yahudi yang dinilai sangat kontroversial oleh seluruh masyarakat dunia. Di dalam UU ini tidak hanya menegaskan superioritas Yahudi, tetapi juga mendiskriminasi warga negara lain yang tinggal di negara tersebut. Termasuk salah satunya adalah menghapus bahasa arab sebagai bahasa resmi.
Bagi bangsa Indonesia UU tidak memiliki dampak karena terjadi di Israel dan mengikat warga negara Israel sendiri. Meskipun jelas kebijakan ini bertentangan dengan Hak Asasi Manusia (HAM) dan semangat agama yang menolak superiotas etnik dan bangsa tertentu. Karena agama sendiri tidak hanya menjadi semangat menolak rasisme tetapi juga meneguh persaudaraan.
“Kalau buat Indonesia sendiri sih tidak ada dampak, dalam artian secara langsung kita tidak punya efek sama sekali dengan munculnya UU Israel itu. Terjadinya kan di Israel, jadi itu undang-undang atau peraturan yang mengikat warga negara Israel sendiri. Kalau di dalamnya ada orang Arab maka hal tersebut menjadi konsekuensi sebagaimana konsekuensi orang Arab yang masuk kedalam negara Israel,” ujar Wakil Direktur International Conference of Islamic Scholars (ICIS), Khariri Makmun, Lc, MA, di Jakarta, Jumat (27/7/2018)
Namun demikian menurut Khariri, kalau pun nantinya ada respon dari masyarakat ataupun kelompok-kelompok Islam, itupun hanya bisa bertarung pada tataran opini di media saja.. “Jika mungkin nanti muncul sebagian respon atau reaksi dari kelompok-kelompok Islam, tapi kita tidak boleh mengintervensi kepada negara lain. Karena itu terjadi di Israel, bukan di Palestina,” ujarnya.
Menurutnya, sejatinya kita tidak perlu kaget dengan apa yang dilakukan perlemen Israel yang diskriminatif atau rasis tersebut. Karena dari awal pendirian negara Israel ini memang berorientasi untuk membuat negara yang berbasis pada agama Yahudi. Sehingga seluruh kebijakan itu selalu lebih mengutamakan dahulu kepentingan orang-orang Yahudi.
“Dalam sebuah negara yang memang berbasis pada keyakinan agama, pasti akan muncul diskriminasi berikutnya. Apalagi disini Yahudi itu selalu mengatakan bahwa mereka adalah Asyabul Mukhtar yang artinya mereka adalah masyarakat atau umat yang dipilih oleh Allah. Merasa umat yang paling tinggi, umuat yang paling merasa lebih mulia daripada yang umat-umat yang lain. Atau umat yang terpilih,” ujarnya menjelaskan.
Dari konteks itu menurutnya, ketika orang Yahudi ingin mendirikan sebuah negara, maka persepsinya negara ini adalah negara Yahudi. Dan pastinya yang mereka utamakan adalah kepentingan-kepentingan Yahudinya dulu, baru berikutnya adalah kelompok-kelompok lain yang berada di wilayah Israel yang bukan Yahudi, baik itu Nasrani, muslim, Arab, non arab.
“Dan negara yang basisnya etnis dan agama ini sebenarnya mengerikan. Kalau basisnya etnis dimana seperti yang terjadi di Myanmar lalu dimana mereka kalau melihat orang-orang etnis lain langsung dihabisi. Sama, kalau mereka melihat kelompok-kelompok di luar Yahudi, di luar Israel keturunan Bani Israil maka mereka juga menganggapnya sebagai kelas kelas ke-2 atau ke-3,” ujar Khariri..
Negara dengan basis seperti itu menurutnya tidak proporsional. Karena seluruh kebijakan baik masalah perumahan, kesehatan, militer, semuanya akan diskriminatif. Dan kelompok-kelompok non Yahudi atau non Bani Israil yang ada di dalam Israel pastimya juga sudah sadar sejak mereka dijadikan sebagai warga negara Israel.
“Pasti mereka sudah sadar bahwa akan ada sikap diskriminasi seperti itu. Paling yang mereka bisa lakukan adalah melakukan protes secara internal di level parlemen. Karena mereka punya perwakilan, Arab di Iirael juga ada perwakilan. Muslim di Israel juga punya perwakilan, tapi jumlah mereka kecil,” ujarnya.
Satu satunya cara yang bisa dilakukan menurutnya dengan menggalang propaganda terkait protes mereka ke media-media internasional, termasuk ke Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Karena di PBB sendiri menghapuskan sikap diskriminasi. “Ada undang-undang menghapusan diskriminasi termasuk perlakuan negara terhadap masyarakatnya, sehingga dunia ini melihat bahwa ada sebuah negara di zaman yang modern seperti ini masih memberlakukan diskriminasi,” ujarnya.
Namun demikian diakuainya bahwa UU tersebut tentunya bertentangan dengan semangat agama yang menolak superiotas etnik dan bangsa tertentu Hal ini di dalam Islam ada dalam sebuah hadis yanga artinya mengatakan bahwa sesungguhnya tuhan mu satu, bapak mu satu yaitu Adam. Tidak ada kelebihan orang ajam atau orang non Arab terhadap orang Arab, begitu juga orang Arab tidak akan melebihi orang non Arab kecuali karena ketaqwaannya.
“Dan yang membuat Manusia itu memiliki nilai lebih di hadapan Allah itu bukan karena etnisnya, bukan karena sukunya, tapi karena ketakwaannya. Ketakwaan yang dimaksud disini yakni dalam konteks sosial dan dalam konteks negara,” ujar Khariri.
Jadi orang yang disiplin terhadap sosialnya, kesantunan, ramah, punya kepedulian terhadap kelompok-kelompok lain bagus, itu masuk dalam konteks sosial. Bahwa ketakwaan itu bukan berarti harus dalam dalam konteks textual, seperti orang bertakwa harus sholatnya rajin atau, dalam konteks individu seperti sikap pribadi iya. “Dan orang seperti ini akan dihargai atau memiliki nilai lebih dihadapan Allah adalah karena ketakwaan,” ujanrya.
Untuk itu masyarakat dirinya juga menghimbau kepada masyarakat untuk dapat menolak rasisme. Karena menolak rasisme itu juga untuk menguatkan persaudaraan dan kebangsaan. Bahkan Indonesia menjadi contoh negara multikultural yang sangat baik di mana perbedaan dan keragaman etnik, bahasa, agama dan bahasa berdiri sejajar dengan ikatan persaudaraan kebangsaan.
“Di Indonesia sendiri ada undang-undang yang dibuat itu juga menghindari terjadinya diskriminasi. Makanya tidak ada satupun undang-undang di Indonesia undang-undang apapun itu yang bisa menimbulkan sikap diskriminasi,” ujarnya.
Hal ini demi menjaga persatuan bangsa agar bangsa ini tetap utuh Karena gejolak itu akan muncul ketika diskriminasi itu dibiarkan. Karena setiap diskriminasi pasti ada ketidakadilan. Dirinya pun juga menyambut baik upaya pemerintah yang telah melakukan berbagai pembangunan di wilayah Timur Indonesia guna mencegah sikap diskriminasi
“Apalagi pemerintah sekarang sudah mengarahkan pembangunan Indonesia ke wilayah Timur untuk menyamaratakan, Karena diskriminasi pasti muncul ketika ada ketimpangan, muncul ketidakadilan terjadi ke dzaliman. Meskipun apa yang dilakukan pemerintah belum sempurna betul, tapi tren itu sudah terlihat bagus untuk mencegah diskriminasi dan tentunya ini untuk memeperkuat persaudaraan dan kebangsaan,” katanya mengakhiri