Jakarta – Acaman terorisme perlu diwaspadai. Cara untuk mewaspadainya yakni dengan membatasi ruang gerak dan penyebaran paham radikalisme. Salah satunya dengan melibatkan dan harus didukung seluruh komponen masyarakat. Karena hal tersebut tidak bisa kalau hanya dilakukan oleh pemerintah dan aparat keamanan semata..
Hal tersebut dikatakan Deputi IV bidang Komunikasi Politik dan Diseminasi Informasi Kantor Staf Presiden (KSP) Eko Sulistyo saat acara Focus Group Discussion (FGD) yang digelar Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) bersama Media Massa (Pers) dalam rangka Pencegahan Paham Radikal Terorisme di Hotel Mercure Sabang, Jakarta,Selasa (25/9/2018).
“Kewaspadaan tidak bisa kalau hanya dilakukan oleh pemerintah dan aparat saja, Masyarakat yang aktif membaur satu sama lain, dapat ikut mendeteksi dan mengetahui kegiatan setiap individu dalam suatu kelompok masyarakat,” kata Eko saat menyampaian paparan.
Eko mengatakan, pihaknya yang bertindak sebagai bagian dari pemerintah tetap berusaha untuk mencegah potensi terjadinya terorisme ataupun perpecahan dalam bangsa ini. Hal itu harus dilakukan meski menghadapi tantangan berat dan tak mudah. “Saya tetap optimistis dan semua harus mampu menyiarkan konten-konten positif (untuk mencegah terorisme),” kata Eko
Menurutnya kehadiran semua unsur elemen masyarakat yang telah tumbuh di negeri ini tentu bisa membantu mencegah masuknya paham radikalisme.
“Sebanyak mungkin melibatkan, bukan bukan membuat (menciptakan kelompok). Di masyarakat kita sudah tumbuh (elemen masyarakat). Di kita dikenal dengan Islam moderat, rahmatan lil ‘alamin yang ditopang dua ormas besar dan juga ada ormas lainya, mereka bisa membuat narasi-narasi terkait pentingnya sebuah toleransi,” ujarnya.
Peran aktif masyarakat, terang Eko, dapat mengantisipasi kemungkinan terjadinya atau menyebarnya paham-paham radikalisme yang berujung pada tindakan terorisme di tengah masyarakat.
Disampaikan Eko, banyak anggota masyarakat terutama dari kalangan anak muda yang awalnya tidak mengerti apa-apa namun terkontaminasi oleh paham-paham radikal.
“Kalangan anak muda yang tak mengerti apa-apa ini tentunya mudah terkontaminasi. Jadi kepedulian lingkungan diharapkan dapat mengantisipasi menyebarnya paham dimaksud,” ujar Eko.
Untuk itu menurutnya, pihaknya yang bertindak sebagai bagian dari pemerintah tetap berusaha untuk mencegah potensi terjadinya terorisme ataupun perpecahan dalam bangsa ini. Upaya ini harus dilakukan meski menghadapi tantangan berat dan tak mudah.
“Saya tetap optimistis dan semua harus mampu menyiarkan konten-konten positif untuk mencegah masuknya paham terorisme,” kata Eko.
Sementara itu Ketua Dewan Pers, Yosep Adi Prasetyo yang turut menjadi pembicara dalam FGD tersebut mengatakan bahwa media massa baik cetak, elekronik dan online diharapkan dapat membantu mencegah penyebaran paham radikal maupun teror. Jangan justru, menjadi saluran meneruskan teror melalui pemberitaan yang tidak sesuai etik.
Dikatakannya, Dewan Pers dan BNPT sendiri telah melakukan penandatangan nota kesepahaman MoU terkait pemberitaan terorisme saat Kepala BNPT masih dijabat Komjen Pol, Saud Usman Nasution.
“MoU itu berangkat dari keprihatinan, karena media punya akses langsung meliput upaya penangkapan teroris (siaran langsung),” katanya.
Ia melanjutkan, di luar negeri tidak ada lagi siaran langsung. Semuanya siaran tunda, ketika penangkapan sudah rampung. “Ketika peristiwa penangkapan selesai, baru disiarkan. ‘Inilah detik-detik aparat melumpuhkan tersangka’. Kalau di sini tidak,” ucapnya.
Ia menganalogikan, bayangkan apabila ada kelompok teroris menguasai satu gedung, kemudian diliput siaran langsung. Tentu pelaku tidak memerlukan pasukan yang banyak untuk mengantisipasi tindakan aparat, karena tinggal menonton siaran langsung melalui televisi.
“Dia akan tahu pasukan ini bergerak dari mana, berusaha jebol pintu dari mana, tinggal disiapkan aksi balasan untuk menanggulangi itu. Di beberapa negara, siaran live itu kemudian menggagalkan operasi dan upaya aparat untuk menangkap. Jadi tidak boleh ada siaran live lagi,” jelasnya.
Selain itu, beberapa media di Indonesia, kalau melihat ada satu tragedi cenderung mengekspose secara berlebihan sehingga meneruskan teror kepada masyarakat.
“Darah-darahnya itu diekspose, orangnya mati, kepalanya terpental, jenazahnya bila perlu dimunculkan. Terorisnya memang sudah meninggal dunia, tapi pesan terornya itu diteruskan sama media. Membuat orang gentar, membuat toko-toko tutup takut, karena nanti ada kawanan yang siap melakukan tindakan susulan,” katanya.
Yosep menegaskan, jangan sampai media justru meneruskan teror ke tengah masyarakat. Sebab, mengutip pernyataan mantan Perdana Menteri Inggris, Margaret Thatcher, “media is oxygen of terrorism”. “Media adalah oksigen yang dapat menghidupkan teror,” ujarnya.
Untuk itu dirimya meminta dan menekankan pola kerja jurnalistik kepada para pekerja pers untuk lebih banyak mengedepankan kode etik jurnalisme, sehingga informasi berita yang buat benar-benar valid sesuai kaidah pers. “Masalah kita ini ada hoax, SARA, kebencian,” ujarnya.
Yosep menjelaskan bahwa bahaya hoax mampu menenggalamkan fakta, dan itu membahayakan dan tidak sehat dalam berbangsa dan bernegara. “Hoax menenggelamkan fakta. Misalnya isu jutaan TKI masuk Indonesia, 1000 tentara rakyat Cina masuk Indonesia waktu Pilkada DKI lalu isunya untuk mngawal Ahok, hal ini menjadi aneh,” terangnya.
Yosep mengungkap, 85 persen ide jurnalisme sekarang ini mengambil informasi melalui media sosial. “Saat ini banyak mengambil referensi informasi dari Medsos. mengambil status orang di Medsos jadi berita, apakah berita itu dokonfirmasi atau tidak,” jelasnya.
Yosep berharap, Pers mempu memposisikan diri sesuai tugas dan fungsinya dengan benar dan memegang aturan dan kaidah jurnalistik. “Upaya Dewan Pers bagaimana mengembalikan kepercayaan masyarakat kepada berita-berita yang dihasilkan wartawan profesional, mengembalikan otoritas kebenaran faktual media arus utama, mengembalikan kepercayaan pada profesi jurnalis,” jelas Yosep mengakhiri.
Hadir pula sebagai narasumber dalam FGD tersebut yakni Direktur Pencegahan BNPT, Brigjen Pol. Ir. Hamli, ME. Staf Ahli Kemenkopolhukam Dr. Sri Yunanto dan wartawan senior Suwidi Tono.