Masuki Tahun Politik, NU dan Muhammadiyah Harus Lebih Vokal Atasi Politik Identitas

Yogyakarta – Mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah Ahmad Syafii Maarif atau Buya Syafii Maarif mendorong NU dan Muhammadiyah lebih vokal dan aktif mengatasi politik identitas yang akan menguat saat tahun politik 2018 dan 2019. Menurutnya, pelajaran dari Pilkada DKI Jakarta yang dinilainya sebagai tragedi nasional, jangan terulang lagi karena bisa merusak Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

“Pilkada DKI Jakarta sebagai pengalaman pahit yang bisa membuat Indonesia lumpuh jika terulang kembali,” ujar Buya Syafii Maarif di Yogyakarta, Rabu (3/1/2018) dikutip dari tempo.co.

Ia mencemaskan sentimen agama dihembuskan lagi dalam Pilkada 2018 maupun Pilpres 2019 untuk tujuan politik. Menurut Buya, jika sentimen agama digunakan untuk tujuan politik, sama halnya dengan memperalat Tuhan untuk tujuan yang rendah.

“Partai politik, organisasi masyarakat, dan semua pihak, perlu bekerja keras untuk mengatasi permainan politik identitas dengan meninggalkan pengalaman Pilkada DKI Jakarta. Apa yang terjadi di Pilkada DKI Jakarta menggambarkan bagaimana banyak orang menghabiskan energi yang sia-sia,” papar Buya.

Dia menyebut apa yang terjadi di Pilkada Jakarta tidak sehat dan tidak beradab. Politik identitas, di antaranya sentimen agama dan sentimen anti-Cina yang mengemuka pada Pilkada DKI Jakarta mesti ditinggalkan. Satu di antara cara untuk mengatasinya adalah inisiatif membangun kerja sama antar tokoh NU dan Muhammadiyah dengan organisasi Indonesia Tionghoa.

Kerja sama yang mereka lakukan bertujuan mengatasi kesenjangan sosial di Indonesia. Selain Buya Syafii, sejumlah tokoh yang mengambil peran kolaborasi itu adalah Koordinator Jaringan Gusdurian Allisa Wahid, Pengurus Besar NU Imam Aziz, dan Ketua Umum Perhimpunan Indonesia Tionghoa atau Inti, Teddy Sugianto.

Inti punya program kegiatan sosial kebangsaan dengan menggandeng para santri pondok pesantren. Beberapa di antaranya adalah mendorong kewirusahaan di kalangan santri, beasiswa kepada kelompok miskin, dan membantu penguasaan bahasa mandarin untuk santri dalam menghadapi persaingan pasar ekonomi bebas.