Nairobi – Masjid adalah salah satu tempat dilakukannya radikalisasi sebelum ada media sosial (medsos). Seperti di Masjid Musa, sebuah masjid di kota Mombasa, Kenya. Masjid ini dulu menjadi pusat gerakan radikal, tetapi kini telah menjadi pusat rekonsiliasi dan perdamaian di negara Afrika timur tersebut.
Pada 2014, kepolisian menggerebek masjid itu dengan dalih tempat ibadah tersebut menjadi tempat perekrutan kaum muda untuk bergabung dengan kelompok milisi Al-Shabab yang berbasis di Somalia. Kala itu, aparat menyita sejumlah granat, audio propaganda, cakram video, dan bendera hitam bergambar senapan yang terkait dengan Al-Shabab. Setelah lebih dari 100 orang ditahan, sebagian besar kaum muda, masjid itu pun ditutup.
Tidak lama berselang para sesepuh di kawasan sekitar masjid dan para pemimpin daerah bertemu guna membahas siapa yang patut mengelola masjid. Hasil pertemuan itu, sejumlah imam yang dituding radikal diusir. Mereka digantikan oleh sosok-sosok yang dianggap moderat.
Beberapa pekan kemudian, pemerintah Kenya membuka kembali masjid dan menyerahkannya ke komunitas setempat. Pemerintah puas dengan pembaruan yang dilakukan, termasuk proses mengintegrasikan kembali para pemuda yang sempat dicap radikal.
“Kami tidak memakai senjata api. Kami bersembahyang dan menggunakan kata-kata yang baik. Para tetua desa dan masjid mengajak seisi komunitas untuk meyakinkan pemuda-pemuda ini untuk mengubah pandangan mereka. Kini mereka telah berubah. Tiada yang bisa bilang bahwa mereka berubah dengan pendekatan senjata. Mereka berubah melalui doa dan ajakan,” ujar pengelola Masjid Musa, Shabi Islam, dikutip dari laman bbcindonesia.com.
Salim Karama, yang mengaku direkrut untuk bergabung dengan Al-Shabab dan terlibat dalam kericuhan saat masjid ditutup, adalah salah satu yang diintegrasikan kembali. Dia meyakini, tanpa lapangan pekerjaan, orang-orang sepertinya tetap berada dalam posisi rentan
“Isu kronisnya adalahpengangguran dan pikiran yang kosong. Jika seseorang punya pekerjaan, dia pergi dari rumah pagi-pagi, bekerja dan pulang malam hari. Pemerintah perlu mengurus nasib kami. Banyak upaya ditempuh untuk mencabut kesalahan tanpa menyelipkan kebaikan,” kata Karama.
Seorang penjahit bernama Saddah Suleiman berkata suaminya adalah salah satu yang ditangkap, namun tidak pernah terdengar kabarnya sejak peristiwa itu. Penyelidikan yudisial menyebut kepolisian mungkin telah membunuhnya. Namun, Saddah ingin jawaban pasti.
“Saya tidak puas sama sekali. Pemerintah seharusnya memberitahu kami di mana dia karena merekalah yang mengambilnya. Kami melihat mereka mengambilnya. Jadi mereka setidaknya mengatakan di mana dia. Kami tidak pernah diberi tahu,” tutur Saddah Suleiman.
Dalam penyelidikan yudisial, kepolisian menyebut suami Saddah melompat dari sebuah truk dan melarikan diri selagi dibawa ke kantor polisi.
Bagaimanapun, setelah enam tahun berlalu, masyarakat kini tidak lagi takut berjalan atau tinggal dekat Masjid Musa dan para pedagang kembali lagi ke kawasan sekitar masjid.