Jambi – Kantor Kedutaan Besar atau Konsulat Jenderal sebagai representasi asing di suatu negara seringkali juga menjadi sasaran aksi penyerangan suatu kelompok teroris. Salah satu penyebabnya adalah kantor tersebut dianggap sebagai perwakilan pemerintahan suatu negara asing yang mengeluarkan suatu kebijakan yang dianggap mengganggu kepentingan suatu kelompok teroris atau melancarkan penyerangan terhadap kelompoknya.
Dengan mencermati situasi tersebut dan dihadapkan pada kondisi yang ada dewasa ini, Subdit Pengamanan Obyek Vital dan Transportasi di Direktorat Perlindungan pada Kedeputian I Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) menggelar konsiyering untuk penyusunan database Sistem Pengaman Obyek Vital di Rumah Ibadah dalam Menghadapi Ancaman Terorisme.
Acara yang diselenggarakan di Hotel Odua Weston, Jambi pada Rabu-Kamis (14-15/6/2017) ini dihadiri oleh berbagai instansi, seperti Polri, Kementerian Luar Negeri, juga termasuk dari akademisi dan juga praktisi. Para nara sumber yang hadir terdiri dari para Kasubdit di Kementrian Luar Negeri yang berhubungan dengan kantor-kantor Kedutaan besar / Konsulat Jenderal, Direktorat Obyek Vital Baharkam Polri dan juga pakar Kriminolog UI Dr. Kemal Dermawan .
Kasubdit Pengamanan Obyek Vital dan Transportasi BNPT, Kolonel Mar.. Purwanto Djoko Prasetyo mengatakan bahwa konsiyering ini mempunyai beberapa tujuan yakni untuk membulatkan hasil penyusunan database yang sudah dilaksanakan di tiga wilayah yaitu Konsulat Jenderal (Konjen) di Bali, Jakarta dan Medan.
“Untuk itu di Konsiyering ini kami juga mengundang pihak dari Kemenlu (Kementerian Luar Negeri). Karena pihak dari Kemenlu lah yang memiliki data mengenai Konjen yang ada di daerah,” ujar Kolonel Mar. Purwanti Djoko di sela-sela acara.
Dijelaskan pria yang dalam karir militernya dibesarkan di lingkungan pasukan elite, Intai Amfibi (Taifib) Marinir ini, sistem keamaanan di Konjen yang ada di Indonesia ini cukup beragam. Dimana negara-negara maju atau negara kaya mempunyai sistem keamanan yang cukup ketat karena memiliki alat-alat keamanan yang sangat lengkap.
“Konjen negara-negara kaya punya alat pendeteksi barang yang cukup lengkap dan canggih. Petugas keamananya pun juga cukup banyak,” ujar alumni AAL tahun 1992 ini.
Namun tidak demikian bagi Konjen negara-negara yang tidak maju atau ekonominya kurang. Dimana negara-negara tersebut tidak memiliki jumlah petugas keamanan yang kurang dari cukup dan hanya mengandalkan CCTV semata. “Tentunya hal itu sangat rentan terhadap ancaman terorisme,” ujarnya.
Untuk itu menurutnya BNPT merasa perlu melindungi kantor-kantor Konjen yang ada di Indonesia. Namun masalahnya Konjen-Konjen tersebut adalah ranah wilayah suatu negara tersebut, dimana orang Indonesia tidak bisa masuk tanpa adanya ijin dari pihak negara tersebut.
“Untuk itu SOP (Standar Operasional Prosudur ) yang kita buat nantinya memiliki konsep bagaimana BNPT mengkoordinasikan aparat keamanan yang dilibatkan termasuk petugas keamanan oleh Kedutaan bersama Kemenlu. Karena kita tidak bisa masuk ke Kedutaan karena bukan wilayah kita. Untuk itu kita perlu ijin ke otoritas yang ada di kedutaan tersebut bolet atau tidaknya untuk masuk,”
Lebih lanjut peraih penghargaan Adhy Makayasa dari Matra Laut ini menjelaskan, karena jika terjadi aksi terorisme di dalam kantor Kedutaan atau Konjen tersebut pihak keamanan tidak bisa seenaknya untuk masuk.
“Kalau sudah dapat ijin baru kita bisa masuk. Kalau tidak dapat ijin ya tetap tidak boleh kita masuk. Jadi SOP nanti sifatnya lebih ke koordinasi antara pihak kita dengan petugas keamanan yang mengusurusi keamanan di internal kedutaan,” ujarnya.
Namun masalahnya tidak semua negara tidak memiliki petugas yang mengurusi masalah keamanan terutama negara yang ekonomiya kurang. “Kadang yang mengurusi keamanan ya Konjennya itu. Kerjanya rangkap-rangkap. Ini yang perlu kita antisipasi dari sekarang jika terjadi ancaman terorisme,” ujar pria yang pernah menjabat sebagai Komandan Sekolah Pasukan Khusus Pusat Pendidikan Infantri Kodikmar ini mengakhiri.