Jakarta – Penutupan Workshop Bidang Penulisan, DKV, dan IT, Dalam Rangka Pencegahan Terorisme di Dunia Maya di Hotel Royal, Jakarta, Sabtu (22/9/2018), mendapat tamu istimewa. Beliau adalah mantan aktivis dan petinggi NII yang kini aktif menyebarkan perdamaian sebagai Kabid Agama, Pendidikan, dan Dakwah FKPT DKI Jakarta, Sutisna.
Alhasil tidak hanya mewakili Ketua FKPT DKI Jakarta, Sutisna pun memberikan testimoni tentang bagaimana keterlibatannya bersama kelompok yang ingin mendirikan menjadikan Indonesia sebagai Negara Islam Indonesia (NII). Ironisnya, Sutisna dulunya adalah seorang guru.
“Saya ingin berbagi, mungkin adik-adik tidak mempunyai pengalaman seperti ini di bangku kuliah. Ini pengalaman saya bersama gerakan radikal 16 tahun. Saya PNS, karena aktivitas padat di gerakan radikal, saya mengundurkan diri, tapi bukan legal, tapi melarikan diri karena saya dicari aparat untuk diminta pertanggungjawaban,” ujar Sutisna mengawali testimoninya.
Sutisna mengaku ketika baru menjadi PNS langsung ditugaskan di Padang, Sumatera Barat. Ia kemudian melanjutkan pendidikan dan lulus dari IPB tahun 1985, yang kemudian ia ditugaskan mengajar STM Pertanian di Garut, Jabar, yang notabene basis DI/TII. Ia terpapar melalui jalan pertemanan dan alumni oleh kakak kelasnya. Ia mengaku tertarik dengan konsep yang ditawarkan yaitu bagaiamana membuat orang menghafal Al Quran secara singkat, hanya seminggu atau dua minggu. Tapi itu ternyata bukan hafal membaca Al Quran, tapi hanya nama ayat dan nomor surat.
Setelah masuk selama satu bulan, lanjut Sutisna, ia bisa merekrut 30 anggota baru. Bahkan di sana ada 90 orang gurudi garut, 30 orang sudah masuk radikal. Ia kemudian diangkat jadi camat di struktur NII di Garut. Dari situ ia banyak mendapat pengikut sebanyak 300 orang. Karena dianggap berprestasi, Sutisna naik jadi bupati NII
Ia kemudian pindah ke Bogor agar dekat dengan keluarga istrinya. Di Bogor, karirnya di NII berkembang jadi kepala daerah atau residen, posisi diatas bupati dan dibawah gubernur. Dalam periode dua tahun, ia bisa merekrut 3000 orang. Ia kemudian ditarik ke provinsi atau komandemen wilayah (KW). itu yang sumbernya dari KW9, disebarkan ke seluruh Indonesia, termasuk ada KW1, 2, 4, 7,” jelasnya.
Ia menjelaskan, KW 1 wilayahnya Jabar dan Pantura, KW2 Jateng dan DIY, KW3 Jatim dan Madura, KW 7 Jabar selatan, dan KW 9 Jakarta. Ia menjadi wakil gubernur NII.
“Kalau gubernur beneran saya sudah kaya, tapi di gubernur NII justru harta habis karena tiap bulan gaji atau setoran saya ke pusat NII naik,” jelasnya.
Puncaknya pada reformasi 1998, semua gerakan radikal ditangani polisi. Saat itu di Bogor, ia dicari-cari tentara untuk diminta pertangggungjawabn. Kebetulan saat itu, ia tidak masuk kerja. Namun saat esok harinya, ia dipanggil kepala sekolah dan disodori surat panggilan ke Korem.
Dari situ, ia menghilang dan berkelana sampai jadi wakil gubernur. Dengan jabatan itu, setiap Kamis dan Jumat, Wakil gubernur dan Gubernur NII harus lapor pimpinan NII di Ponpes Az Zaytun, menyetor uang, dan membuat program seminggu kedepan.
Di ponpes tersebut, ia akhirnya melihat langsung bahwa ajaran NII ternyata menyimpang dari agama islam. Ia mengaku semangat gabung NII karena melihat syariat islam ditegakkan, kejuaran, tidak ada korupsi, sehingga perjuangan itu murni untuk menegakkan syairat islam. Tapi ketika ia harus datang ke pusatnya, ia baru tahu, petinggi NII ternyata juga korupsi.
Malah, di sana, shalat menjadi tidak wajib karena sesuai hadits yang mereka anut yaitu shalat lah pada waktunya. Mereka menilai belum waktunya shalat karena perjuangan mereka hijrah mendirikan NII belum berhasil. Konsep hijrah mereka mengumpamakan Indonesia sebagai negeri jahiliah seperti kota Mekah yang ditinggalkan Rasulullah SAW, sementara NII adalah Madinah yang menjadi tujuan hijrah Nabi SAW.
“Mereka menyatakan saat ini belum waktunya shalat, saat ini belum. Shalat waktunya setelah hijrah. Hari ini kita baru hijrah keyakinan, masih di NKRI, sehingga shalat belum waktunya. Kalau NII sudah berkuasa, sudah waktunya shalat. Disitulah perbedaan itu membaut mereka radikal,” jelasnya.
Mereka juga meyakini bahwa jihat itu perang. Padahal jihad yang benar harus melawan radikalisme dan terorisme. Mahasiswa yang bekerja keras untuk mendapat IPK 4.0, itu jihad. Orang bekerja untuk menghidupi keluarganya, juga jihat.
Selain itu, mereka juga ingin mengubah sistem Indoensia, sesuai akidah mereka dengan cepat, dan instan, dan boleh dengan cara dibom, serta aparatnya kalau menghalangi harus dibom. Penafsiran itu jelas salah.
“Saya akhirnya melihat fakta, dan saya resign dari NII. Begitu saya keluar ancamannya hukuman mati,” tukasnya.
Beruntung ia akhirnya meminta perlindungan ke Mabes Polri. Sutisna bahkan sempat membantu Polri membongkar jaringan tersebut.
“Makanya acara sepert ini penting untuk mendeteksi secara dini penyebaran radikalisme dan terorisme di dunia maya. Apalagi sasaran mereka anak muda, sehingga harus pakai anak muda menghadapinya,” pungkasnya.