Mantan Teroris: ISIS dan Islam Berbeda Jauh

Jakarta – Keberadaan kelompok militan Islamic State Of Iraq and Syria (ISIS) selama ini selalu dikaitkan dengan agama Islam. Padahal, kenyataannya, ISIS dan Islam itu sangat jauh berbeda, terutama bagi Islam yang ada di Indonesia.

“Dalam terminologi Islam, para ulama mengatakan bahwa mereka itu sebagai kelompok hawaritz dan diluar kelompok Ahlussunnah wal Jamaah yang mayoritas dianut umat Islam Indonesia. Jadi sangat jelas perbedaannya, apalagi ISIS menghalalkan cara-cara kekerasan dalam penerapan ajarannya. Bila ISIS berkembang di Indonesia maka akan terjadi konflik internal di masyarakat sehingga negara ini tidak stabil. Jadi mulai sekarang kita harus bisa membentengi diri dari ISIS, agar tidak masuk dan membuat gaduh di Indonesia,” ujar mantan teroris yang kini sudah kembali ke pangkuan NKRI, Imron Baihaqi alias Abu Tholut.

Ia menilai, keberadaan ISIS sekarang membuat ancaman terorisme di Indonesia makin variatif. Pasalnya, ISIS juga tidak sama dengan Al Qaeda dari segi visi dan misi mereka. Menurutnya, dulu aksi terorisme dipicu oleh permusuhan tunggal dengan Amerika Serikat dengan kelompok Al Qaeda, terutama menyangkut kebijakannya terhadap umat Islam setelah terjadinya aksi bom World Trade Centre (WTC)

“Sekarang timbul ISIS sehingga lebih variatif. Mereka (ISIS) sasarannya bukan AS sebagai prioritas, bahkan orang biasa saja bisa dianggap musuh atau murtad bila tidak sepaham. Contohnya peristiwa di Sudan, Irak, dan Paris. Kita berharap hal itu tidak terjadi di Indonesia. Caranya jangan sampai ISIS berkembang di Indonesia dan jangan sampai umat muslim Indonesia terekrut oleh propaganda ajaran ISIS,” tutur Abu Tholut.

Atas dasar itulah, Abu Tholut dengan beberapa mantan teroris yang lain seperti Abdul Rahman Ayub, Nasir Abbas, Ghazali, Toni Togar, dan lain-lain siap membantu pemerintah, dalam hal ini Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) dalam menanggulangi dan mencegah terjadinya aksi terorisme di Indonesia. Ia pun siap melakukan sharing dan berkomunikasi aktif dalam memberikan masukan dan data untuk sebagai bukti kesetiannya pada NKRI.

“Kami tidak meminta apa-apa. Kami hanya ingin Indonesia yang damai dan tidak dikotori oleh-oleh aksi-aksi ISIS yang tidak berperikemanusiaan,” tukasnya.

Ia menilai adanya sharing dan komunikasi ini snagat positif dan konstruktif dalam memecahkan kebuntuan antara pihak pemerintah yang menangani pencegahan terorisme (BNPT) dengan mereka yang pernah terlibat kasus terorisme, napi terorisme, dan mantan napi terorisme. Langkah ini akan menjadi fondasi awal untuk membangun kepercayaan dalam mencegah terjadinya kembali aksi terorisme di Indonesia.

Menurutnya, komunikasi intensif dan wakil pemerintah dan wakil masyarakat, dalam tanda petik dari kelompok radikal, sangat penting  sehingga di kemudian hari ada gerakan yang sinergis dalam pencegahan terorisme. “Kalau sudah sinergi, maka jalannya pasti akan selaras. Selama ini pencegahan terorisme yang dilakukan BNPT sudah cukup bagus, tapi masih ada yang kurang. Memang masih belum sempurna, makanya harus disempurnakan.Jangankan masalah terorisme yang parsial, masalah yang global yaitu tujuan kemerdekaan juga sepenuhnya belum tercapai. Jadi evaluasi dan koreksi yang terus dilakukan secara bersama-sama,” pungkas Abu Tholut.