Jakarta – Badan Nasional Penanggulangan Terorisme terus meningkatkan koordinasi dan pelibatan masyarakat dalam menjalankan program penanggulangan terorisme di Indonesia. Upaya itu adalah bagian dari pencegahan terorisme mulai dari hulu sampai hilir.
“BNPT perlu merangkul semua pihak secara menyeluruh agar penanggulangan paham radikal terorisme ini dapat berjalan dengan baik dan berhasil memmberangus paham radikal terorisme di bumi Indonesia. Kami para mantan napiter pun siap mendukung penuh upaya-upaya pencegahan karena kami pernah ‘berada’ di sana sehingga banyak tahu seluk beluk sel-sel terorisme di Indonesia,” ujar mantan teroris Agus Dwikarna di Jakarta, Jumat (14/7/2017).
Ia menyarankan agar kegiatan-kegiatan pencegahan tidak banyak bersifat seremonial, tapi langsung menyentuh ke sasaran. Dengan adanya pelibatan masyarakat dan mantan napiter, upaya itu akan lebih mudah terutama dalam melakukan deteksi dini. Menurutnya, cara dan tujuan pelaku terorisme sekarang berbeda dengan dulu.
“Ghirah (hasrat) dan tujuan jihad di zaman kami berbeda dengan sekarang. Kalau dulu kami berangkat ke Afganistan dan Ambon murni ingin membela sesama muslim yang tertindas dan tidak pernah menyerang aparat secara membabi buta seperti sekarang ini. Artinya, pola propaganda sekarang berbeda, karena tujuannya juga berbeda. Karena itu, pelibatan mantan napiter mutlak, agar langkah pencegahan BNPT lebih efektif,” papar pria yang pernah dipenjara 11 tahun di Filipina ini karena dituduh membawa bahan peledak di Bandara Ninoy Aquino, Filipina dan terlibat pada aksi terorisme pada 2002 lalu.
Pelibatan mantan napiter, lanjut Agus Dwikarna, bisa dengan berdiskusi dan dialog. Hal itu sangat positif karena juga bisa menjadi ruang muhasabah (koreksi diri) bagi para mantan napiter yang terlibat jaringan kelompok agar tidak mengulangi apa yang pernah dilakukan.
Terkait program pembinaan (deradikalisasi) yang dilakukan BNPT selama ini, Agus menilai bahwa program itu sangat bagus dan harus terus ditingkatkan. Caranya harus dilakukan sosialisasi lebih banyak lagi agar semua bisa memahami maksud dan tujuan program tersebut.
“Yang terjadi selama ini adalah salah paham yang tidak berdasar, makannya dengan diadakannya pertemuan dan diskusi akan menjadi ruang komunikasi yang bagus bagi kita semua. Namun BNPT tentu tidak bisa berjalan sendiri, perlu keterlibatan teman–teman mantan napiter untuk mendekati kelompok–kelompok yang masih mempunyai pemikiran radikal tersebut,” jelasnya.
Pada kesempatan itu, ia mengajak orang-orang yang masih terlibat aktif dalam jaringan terorisme, agar berpikir jernih. “Apakah yang diperjuangkan itu betul-betul murni tuntunan aqidah atau jangan-jangan mereka telah tersusupi oleh pemikiran yang salah. Itu yang harus direnungkan,” tukasnya.
Hal senada diungkapkan Iqbal Husaini atau Romli atau Rambo, yang pernah mendekam di penjara selama 4 tahun karena terlibat pengiriman senjata dalam konflik Ambon. Menurutnya, adanya penolakan program deradikalisasi karena program itu masih belum membumi. Artinya, di kalangan masyarakat umum masih banyak yang tidak paham dengan program itu, bahkan ada yang antipati apalagi kelompok radikal.
“BNPT perlu melakukan kampanye secara masif agar tidak terjadi kesalahpahaman dalam mengartikan program deradikalisasi tersebut. Dalam hal ini, BNPT tidak bisa sendiri dan harus melibatkan tokoh agama dan mantan napiter karena sangat sulit ‘mendekati’ kawan-kawan yang masih memiliki pemikiran keras. Terlebih pola gerakan kelompok radikal sekarang tidak hanya di ranah offline, tapi telah menyasar dunia online (dunia maya),” ungkap Rambo.