Mantan Teroris Abdurrahman Ayyub ajak pesantren lawan terorisme.

Cirebon – Mantan pentolan kelompok teroris Jamaah Islamiyah, Abdurrahman Ayyub, mengaku telah bersentuhan dengan tokoh–tokoh yang berkaitan langsung dengan karto Suwiryo sejak usia 17 tahun. Menurutnya hal itu dikarenakan semenjak usia belia keinginan untuk memperdalam agama Islam begitu kuat, sehingga ia mencari para tokoh agama untuk belajar agar mendapatkan ilmu agama yang mendalam.

“Saya tidak tahu agama, ketika saya bertanya kepada guru di sekolah, para guru menjawab wallahua’lam bissawab (hanya allah saja yang tahu),” ujarnya dalam kegiatan dialog pencegahan paham radikal terorisme dan ISIS di Kalangan Pimpinan Pondok Pesantren dan Santri Se – Wilayah III Cirebon di Pondok Pesantren Buntet, Selasa (03/05/2016).

Mantan petinggi Jamaah Islamiyah, itu melanjutkan, “Ilmu agama saya dangkal, kemudian diberitahu: kalau kamu tidak hijrah batin dari NKRI ke Negara Islam Indonesia, maka shalat, puasa, dan ibadahmu akan sia-sia. Kalau mati (dalam keadaan) tidak berbaiat, maka mati dalam keadaan jahiliyah. Kalau kamu dengan NKRI sama saja kafir dan mati jahiliyah,” ungkapnya saat mengenang ajaran yang ia dapatkan selama bergabung dengan kelompok teroris.

Pria paruh baya yang dulu pernah menjadi pimpinan JI di mantiqi (wilayah) IV ini menyatakan pernah berbaiat kepada Negara Islam Indonesia versi Aceh Merdeka bersama para pengikut Daud Beureuh. Ia kemudian pindah menjadi pengikut duet petinggi NII, Abdullah Sungkar dan Abu Bakar Ba’asyir di Ngruki, Solo. Tahun 1991, Abdurrahman kembali ke Indonesia setelah lima tahun di Afganistan. Namun ia segera menemukan medan perang baru, yakni Moro, Filipina Selatan. Ia pun tinggal di sana selama lima tahun.

“Saya mudah saja keluar-masuk perbatasan tanpa paspor dan bawa senjata. Teroris tidak akan berkembang tanpa ada celah-celah yang bisa ditembus dengan duit. Saya menyeberangi perbatasan mudah,” kata Abdurrahman, menceritakan betapa ia dulu mudah keluar masuk perbatasan negara karena gampang menyuap penjaga perbatasan.
“Jangan sangka teroris itu ada karena kemiskinan atau karena perut. Tidak, saya pernah ngobrol dengan Osama bin Laden. Dia dari keluarga kaya raya. Keluarganya memecatnya karena dia keras, dan akhirnya dapat harta gono-gini sebesar 500 juta dollar. Dia investasikan (harta itu) untuk membiayai akademi militer Mujahidin,” kata Abdurrahman.

Ia pun mengaku bertaubat dan menampik menjadi bagian JI setelah terjadi perpecahan dalam tubuh kelompok itu. Sebagian anggota JI, termasuk dirinya, menginginkan gerakan tetap berpedoman pada petunjuk jihad, yakni berperang dengan mengikuti etika zaman Nabi. Namun anggota JI lainnya memilih mengabaikan aturan dan etika itu. Mereka mengikuti petunjuk Osama bin Laden untuk mengebom target-target yang bersinggungan dengan Amerika Serikat, terlepas apakah itu sipil atau militer.
Salah satu pecahan Jamaah Islamiyah yang paling berbahaya adalah pendukung Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS). “Mereka tidak disiplin, sangat berlebihan, dan tidak tahu aturan,” kata Abdurrahman.
Pola rekrutmen mereka juga lebih masif dan berbahaya, karena memanfaatkan jaringan internet. “Dulu, jika mau berbaiat, saya harus datang ke tempat itu langsung. Sekarang ISIS bisa berbaiat melalui internet atau online,” kata Abdurrahman.

Abdurrahman mengatakan BNPT tidak mungkin melakukan pencegahan terorisme sendirian, oleh karena itu dibutuhkan kerjasama semua elemen bangsa agar masyarakat dapat terhindarkan dari paham radikal terorisme dan ISIS.