Baghdad – Seorang mantan perwira angkatan bersenjata dalam pasukan Saddam Hussein sudah mengambil alih sebagai kepemimpinan Islamic State (ISIS) sebelum kematian Abu Bakr al-Baghdadi.
Abdullah Qardash — dikenal sebagai Profesor — diyakini sudah mengambil alih kendali menjalankan operasi sehari-hari kelompok militan tersebut.
Baghdadi terbunuh ketika pasukan Amerika Serikat menyerbu kompleksnya di Suriah barat laut. Dia meledakkan diri dengan rompi bunuh diri setelah terpojok di sebuah terowongan.
Presiden AS Donald Trump mengatakan pemimpin teror itu tewas “menangis, merintih, dan menjerit, membawa serta tiga anak bersamanya”.
Qardash dilaporkan ditunjuk sebagai pengganti Baghdadi pada Agustus, setelah kepala militan itu terluka dalam serangan udara dan juga menderita diabetes serta tekanan darah tinggi.
Seorang pejabat intelijen regional mengatakan kepada Newsweek bahwa Qardash sudah menjadi pemimpin tertinggi ISIS sebelum Baghdadi tewas.
“Baghdadi adalah boneka. Dia tidak terlibat dalam operasi sehari-hari. Yang dilakukan Baghdadi hanyalah ya atau tidak — tidak ada perencanaan,” kata pejabat itu, dinukil dari The Sun, Selasa, (29/10).
Qardash adalah mantan perwira di pasukan Saddam Hussein yang tumbuh dekat dengan Baghdadi, ketika mereka berdua dipenjara di Basra oleh pasukan AS karena hubungan mereka dengan al-Qaeda pada 2003.
Di penjara Irak itulah Baghdadi menjadi demagog militan yang mengubah ratusan tahanan terhasut pada apa yang disebut sebagai kekhalifahan.
Qardash, yang usianya tidak diketahui, diyakini bekerja bersamanya sejak itu, lapor The Times. Orang Irak itu bekerja sebagai legislator puncak kultus maut sebelum promosinya menjadi pemimpin menunggu, demikian dilaporkan.
Nama panggilannya adalah Profesor dan dikenal sebagai pembuat kebijakan yang kejam dalam grup teror. Qardash juga merupakan orang kepercayaan Abu Alaa al-Afri, wakil Baghdadi sebelumnya, yang terbunuh dalam serangan senjata helikopter AS pada 2016.
Sejak jatuhnya Baghouz, kubu kota terakhir ISIS di bulan Maret, kelompok ini telah berkurang menjadi kantong-kantong perlawanan di kedua negara.
“Qardash menghadapi kepemimpinan yang terpecah, beberapa di antaranya mungkin menolak visi dan strateginya,” lapor The Times.
Dengan para anggotanya tersebar di sel-sel melintasi padang pasir luas yang membentang di dua negara, tiga faksi utama telah muncul, berkumpul di sekitar kepemimpinan Tunisia, Saudi, dan Irak.
Pasukan keamanan di seluruh kawasan telah memperingatkan bahwa sel-sel yang tersisa cukup kuat untuk meluncurkan serangan dan siap melangkah ke dalam kekosongan pucuk pimpinan.
Fadhel Abo Ragheef, mantan analis keamanan di pemerintah Irak, mengatakan percaya bahwa promosi Qardash dapat menghidupkan kembali kultus maut tersebut.
Dia katakan: “Serangan tidak akan meningkat dengan kepemimpinan baru Qardash tetapi mereka akan lebih spesifik,”
“Mereka memiliki banyak kekuasaan atas daerah yang besar, meskipun dana mereka telah berkurang,” pungkasnya.