Lombok Barat – Mantan Narapidana Terorisme (Napiter), Kurnia Widodo, mengungkap dampak buruk menjamurnya penggunaan media sosial di masyarakat, salah satunya mempercepat terjadinya radikalisme yang menggiring ke tindak pidana terorisme.
Ini disampaikan Kurnia saat menjadi pemateri di kegiatan Literasi Digital sebagai Upaya Pencegahan Radikalisme dan Terorisme di Masyarakat melalui Forum Koordinasi Pencegahan Terorisme (FKPT) Nusa Tenggara Barat di Senggigi, Lombok Barat, Rabu (28/3/2018). Dia mengungkap sejumlah contoh kasus.
“Salah satunya Anggi, pelaku bom Antapani, Bandung. Desember 2016 dia di Hongkong belum berjilbab, setelah meng-upload video baiat ISIS, dia berubah. Maret 2017 dia ditangkap dan dideportasi ke Indonesia. Ternyata tidak lama dia terlibat kasus peledakan bom di Antapani,” ungkap Kurnia.
Contoh lain yang diungkapkan oleh Kurnia adalah kasus Ifan Ramadi Hasugian, pelaku penikaman terhadap pendeta di gereja Santo Yosep, Medan, Sumatera Utara. Ifan disebutnya menjadi radikal karena internet, hingga pada akhirnya memiliki keinginan bergabung dengan ISIS, meski akhirnya gagal.
“Keseharian dia bekerja menunggu warnet. Dia ingin gabung ISIS tapi tidak bisa, usianya masih 17, tidak bisa urus Pasport. Sampai dia kenal seorang wanita lewat medsos, dia dijanjikan bisa membuat Pasport tapi membayar 12 juta. Dia bayar, tapi duitnya dibawa kabur. Si Ifan marah dan yang menjadi sasaran gereja di daerahnya,” tambah Kurnia.
Dalam kaitan aksi terorisme, Kurnia juga mengungkap bagaimana Dia Yulia Novi direkrut dan diajari menjadi pelaku bom melalui media sosial. Sebelumnya, melalui sarana yang sama Dian juga dinikahi oleh pelaku lainnya. “Ini yang salah tapi dibenarkan oleh kelompok pelaku terorisme. Masak menikah melalui medsos, kan tidak dibenarkan oleh agama,” tandasnya.
Kurnia menyebut literasi digital yang dilaksanakan oleh Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) dan Forum Koordinasi Pencegahan Terorisme (FKPT) NTB adalah langkah strategis untuk mencegah penjerumusan masyarakat ke penyalahgunaan media sosial.
Anggota Dewan Pers, Ratna Komala, membenarkan apa yang disampaikan Kurnia Widodo. Menurutnya, sebagai wujud new media, media sosial memiliki karakteristik yang menjadikannya mudah diterima dan digunakan masyarakat.
“Bahasanya gaul, bisa digunakan mencari apapun, termasuk tadi disampaikan Pak Kurnia soal bagaimana membuat bom. Makanya dibutuhkan saringan yang kuat agar kita tidak salah dalam menggunakan media sosial,” kata Ratna.
Dalam paparannya Ratna mengungkap data pengguna internet di Indonesia pada tahun 2017, yaitu 143,26 juta orang. Jumlah itu mengalami lonjakan drastis dibandingkan penggunaan dari tahun-tahun sebelumnya. “TV kalah, radio kalah, termasuk koran. Orang menyebut inilah senjakala dunia pemberitaan lama,” tambahnya.
Untuk mencegah ketersesatan dalam penggunaan media sosial, Ratna mendorong masyarakat untuk menguatkan pengetahuan di segala bidang. Informasi yang masuk dan diterima melalui media sosial tidak boleh dimakan mentah-mentah, melainkan harus dicerna dengan verifikasi.
“Seperti tadi ada katanya menikah lewat media sosial, jelas itu tidak dibenarkan di agama. Makanya kita juga harus menguasai ilmu agama, menguasai pengetahuan lainnya, agar ketika ada informasi kita bisa memilah bagaimana baik dan buruknya,” pungkas Ratna.
Kegiatan Literasi Digital sebagai Upaya Pencegahan Radikalisme dan Terorisme di Masyarakat melalui Forum Koordinasi Pencegahan Terorisme (FKPT) Nusa Tenggara Barat dilaksanakan bersama oleh BNPT dan FKPT NTB. Kegiatan yang sama akan dilaksanakan di 32 provinsi se-Indonesia sepanjang tahun 2018. [shk/shk]