Damailahindonesiaku.com, Sentul – Aksi-aksi terorisme yang terjadi di Indonesia semakin menurun. Namun demikian penyebaran paham-paham radikalisme yang mengarah ke terorisme tersebut makin meningkat. Untuk itu upaya melakukan identifikasi di luar Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) terus dilakukan agar para mantan terpidana yang pernah terlibat kasus terorisme tidak kembali lagi ke kelompoknya.
“Memang kasus pengeboman sudah menurun, tetapi penyebaran paham radikalisme yang mengarah ke terorisme makin meningkat baik itu melalui keluarga, jaringan dan lingkungan. Inilah yang harus kita sekat melalui program deradikalisasi merupakan bagian dari pencegahan terorisme,” ujar Deputi I Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Mayjen TNI Agus Surya Bakti dalam paparannya pada acara Forum Group Discussion (FGD) Evaluasi Tahap Identifikasi Luar Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Deradikalisasi BNPT di Hotel Lorin, Sentul, Kab. Bogor, Kamis (18/6/2015).
Dikataakan Agus, radikalisasi itu adalah sebuah proses, maka untuk melakukan counter maka deradikalisasi atau yang disebut moderasi harus melalui suatu proses. Mantan napi teroris yang sudah dibina sedemikian lama, namun masih perlu program moderasi.
“Kemudian ada keluarga dan jaringan, mereka masih menjadii suporter utama. Jadi ikatan kekeluargaan masih menjadi dasar melakukan pemahaman yang keras. Jadi tahap identifikasi merupakan tahap pemetaan. Harus pandai-pandai kita, karena biasanya mantan yang sudah bebas harus moderasi. Jadi walaupun mereka sudah bebas dari penjara. Namun mereka memiliki potensi teror yang cukup tinggi,” ujarnya.
Dijelaskan Agus, jika sudah ada moderasi, pendekatan kesejahteraan para napi ini harus memiliki kekuatan baik itu melalui wasbang, agama; dan kewirausahaan. Jajaran dari Kantor Wilayah (Kanwil) seperti Kementerian Agama, Kementerian Sosial, Kementerian Koperasi dan UKM juga harus dilibatkan dalam program mederasi ini.
“Jangan sampai mereka berharap-harap karena anggaran kita (BNPT) juga terbatas. Kalau kita bisa memperjuangkan mereka ini adalah suatu kemajuan. Karena dana BNPT tentunya tidak cukup untuk para mantan napi teroris yang ada di 13 Provinsi. Harus libatkan beberapa Kanwil di Kementrian diatas,” ujar Agus.
Sementara mantan napi teroris yang juga menjadi pembicara di acara tersebut, Nasir Abas mengatakan bahwa evaluasi tahap identifikasi luar lapas terhadap proses pembinaan terhadap mantan napi di luar lapas sangat penting dilakukan agar para mantan napi teroris itu tidak kembali lagi ke kelompoknya.
“Proses pembinaan identifikasi luar lapas terhadap mantan napi terorisme ini adalah hal yang baik dan perlu dilakukan beberapa kali. Karena identifikasi ini bukanlah hal yang mudah. Ini harus sistematis, tidak cukup dilakukan cuma sekali, karena ini menyangkut mantan napi yang terlibat kasus terorisme,” kata Nasir Abas.
Dikatakan mantan kombatan yang pernah berguru di Afganistan ini, diperlukan pertimbangan dari berbagai macam sisi dalam rangka proses moderasi kepada mantan teroris ini, agar para mantan napi teroriris ini dapat memahami sesuatu yang benar agar tidak kembali lagi ke kelompoknya.
“Dalam melakukan moderasi ini perlu menghadirkan para pakar atau pihak terkiat di wilayah tempat mantan napi tersebut ini. Atau mungkin juga perlu menghadirkan mantan napi teroris juga dari tokoh agama,” ujarnya.
Hal tersebut diperlukan karena menurutnya, para mantan napi teroris ini masih memiliki potensi untuk kembali ke kelompoknya jika proses moderasi itu tidak dilakukan dengan baik. “Bahaya tidaknya napi tersebut tergantung siapa yang mendekati mereka. Mereka ini masih memiliki potensi untuk melakukan lagi (aksi teror), karena mereka punya pengalaman dan kemahiran. Jadi harus ada kegiatan moderasi yang benar agar mereka tidak kembali ke kelompoknya,” ujar Nasir.
Sementara itu Prijadi, selaku Direktur Bimkemas pada Dirjen Pemasyarakatan Kemenkum HAM mengatakan bahwa identifikasi itu adalah sesuatu yang bukan hanya penting, tetapi sangat vital untuk menentukan intervensi berikutnya. Karena identifikasi itu untuk menentukan klasifikasi terhadap mantan napi itu sendiri.
“Karena hal tersebut juga untuk menentukan penempatan dan program intervensi apa buat mantan napi itu nantinya. Apakah itu masih beraada di dalam lapas maupun setelah napi itu masih dalam proses asimilasi. Jadi database napi tersebut menjadi bagian yang sangat vital,” ujarnya.