Jakarta – Rapat Koordinasi (Rakor) yang digelar antara Badan Nasional Penanggulangan Terorisme bersama Kementerian Agama (Kemenag) dalam rangka pendampingan sasaran deradikalisasi di masyarakat yang berlangsung di salah satu hotel di Jakarta pada Jumat (17/11/2017) siang ini kembali menghadirkan mantan anggota jaringan terorisme, Agus Dwikarna.
Agus Dwikarna berkesempatan memberikan pemahaman mengenai strategi identifikasi dan pendampingan kepada sasaran deradikalisasi kepada para peserta rakor yang diikuti sebanyak 131orang. Dimana peserta rakor ini diikuti para penghulu dan kepala Kantor Urusan Agama (KUA) tingkat kecamatan dari 26 Kabupaten/Kota di Indonesia yang mana wilayah kerjanya memiliki warga binaan deradikalisasi yang dijalankan BNPT
Seperti diketahui bahwa Agus sendiri sebelumnya telah divonis penjara selama 17 tahun di Pengadilan Pasay Regional Trial Filipina pada 2002 silam dengan dakwaan memiliki bahan peledak. Mantan Panglima Laskar Jundullah dan pendiri Komite Persiapan Penegakan Syariat Islam (KPPSI) ini ditangkap di di Bandara Manila, Filipina, Maret 2002, atas tuduhan kepemilikan bahan peledak. dan terlibat pada aksi teroorisme pada 2002 lalu. Agus dibebaskan oleh otoritas di Filipina pada 31 Desember 2013 atau setelah dia menjadi penghuni penjara selama lebih dari 10 tahun.
Dalam kesempatan tersebut Agus juga memberikan pemahaman dan pengertian kepada para peserta mengenai apa yang dimaksud dengan radikal. Menurutnya, radikal menurut pembahasan para ahli berarti positif karena radik berarti akar, yaitu memahami sampai ke akar-akarnya.
“Tetapi masalah mulai muncul ketika sikap radikal diimplementasikan ke dalam bentuk teror. Maka kita perlu mencermati perbedaan radikal dengan radikal teror, karena tidak semua radikal bersifat teror namun radikal teror berasal dari radikal,” kata Agus.
Dikatakan Agus, sikap radikal terhadap umat Islam harus bisa dicermati dengan baik. Karena kalau umat Islam melaksanakan ajaran agama sampai ke akar-akarnya, maka idealnya tidak ada kegiatan teror karena islam tidak mengajarkan pembunuhan dan perang tanpa adanya alasan.
“Islam kita kenal sebagai ajaran uswatun khasanah, wasafiyah (pertengahan), dan perdamaian. Namun ternyatamasih terjadi tindakan radikalisme dan terorisme. Ini akibat dari pemahaman yang salah dari mereka yang memaknai radikal itu,” ujarnya.
Untuk itu dirinya pun juga memberikan cara-cara mengidentifikasi terhadap orang-orang tersebut berdasarkan pengalaman pribadinya termasuk penyebab terjadinya aksi terorisme yang pernah terjadi selama ini.
“Biasanya dikarenakan adanya tekanan politik, perasaan ketidakadilan, penindasan dan penyerangan yang terjadi pada umat Islam sehingga terjadi tertutupnya pintu dialog terhadap permasalahan-permasalahan tersebut,” ujarnya
Menurutnya, hal tersebut muncul karena penguasa dan pemerintah dianggap terlalu mentoleransi praktik hidup yang melanggar norma dan pemberitaan di media massa yang dianggap sudah tidak netral dan independen lagi.
“Sehingga mereka berfikir kalau politik negara dan kebijakan negara dianggap tidak proporsional sehingga terjadi konspirasi politik dan menyebabkan umat Islam tidak terbiasa bersatu. Ditambah lagi pemahaman mereka tentang Islam tidak terlalu mendalam juga menyebabkan terjadinya gerakan radikal,” katanya.
Selanjutnya dirinya memberikan cara pendampingan kepada sasaran deradikalisasi yang diantaranya dengan melakukan proyek modernisasi ajaran Islam. “Karena Islam mengajarkan kita untuk melaksanakan ajaran-ajaran Islam rahmatan lil alamin,” ujarnya.
.
Selain itu kita juga harus bisa mengajarkan mengenai pemahaman islam yang moderat. Hal ini menurutnya seperti yang dicontohkan oleh Rasulullah yang tidak pernah melakukan penyerangan terhadap musuh, tetapi mempertahankan diri terhadap penyerangan yang dilakukan oleh musuh seperti Tawazu. Berkeseimbangan, I’tidal (lurus dan tegas), tasawuf (toleran), kebersamaan, musyawarah, memprioritaskan yang utama, tattawuf dan berperadaban.
“Dengan demikian, diharapkan saudara-saudara kita yang berprinsip radikal itu tadi mau meninggalkan aksi terornya dan mau berdiskusi dan berpartisipasi dalam melakukan pembangunan,” ujarnya.
Untuk itu dirinya berharap ada langkah-langkah tindaklanjut yang perlu dilakukan, misalnya melakukan kegiatan secara nasional. Dan diriya juga membenarkan jika sasaran deradikalisasi selama ini juga ada yang tidak diterima oleh masyarakat.
“Oleh karena itu, peran KUA adalah melakukan bimbingan keagamaan kepada masyarakat agar mereka mau menerima sasaran deradikalisasi,” ujarnya mengakhiri.