Jakarta – Mahkamah Agung Mesir menguatkan hukuman mati bagi 12 anggota kelompok Ikhwanul Muslimin. Dua dari 12 terdakwa itu adalah dua pemimpin senior Ikhwanul Muslimin, Mohamed al-Beltagy dan Safwat Hegazy. Vonis itu dijatuhkan pada sidang yang digelar Senin (14/6/2021). Vonis itu sekaligus mengakhiri persidangan kasus pembunuhan massal tahun 2013.
Dikutip dari AFP, Selasa (15/6/2021), vonis mati secara efektif mengakhiri kasus yang dimulai dengan lebih dari 600 terdakwa setelah penggulingan presiden Mohamed Morsi oleh militer tahun 2013. Menyusul penggulingan Morsi di tengah protes massa terhadap pemerintahannya, para pendukung Ikhwanul Muslimin melakukan aksi duduk besar-besaran di Lapangan Rabaa Al-Adawiya di Kairo timur untuk menuntut kembalinya kekuasaan Morsi.
Bulan berikutnya, pasukan keamanan menyerbu lapangan tersebut dan membunuh sekitar 800 orang dalam satu hari. Pihak berwenang mengatakan pada saat itu bahwa para pengunjuk rasa bersenjata dan pembubaran paksa merupakan tindakan kontra-terorisme yang vital. Ini menandai dimulainya tindakan keras terhadap kelompok Ikhwanul dan oposisi sekuler di Mesir.
Dalam bunyi putusan itu, MA Mesir mengatakan hukuman mati dijatuhkan karena mereka mempersenjatai geng kriminal yang menyerang penduduk dan melawan polisi serta memiliki senjata api, amunisi, dan bahan pembuat bom.
“Dakwaan lain termasuk membunuh polisi, melawan pihak berwenang, dan pendudukan dan perusakan properti publik”, imbuh bunyi putusan MA.
Sumber pengadilan mengatakan bahwa putusan ini final dan tidak dapat diajukan banding.
Selain menguatkan putusan hukuman mati, pengadilan juga mengurangi hukuman untuk 31 anggota Ikhwanul lainnya.
Sebelumnya, pada tahun 2018, pengadilan Mesir menjatuhkan hukuman mati kepada 75 terdakwa dan sisanya dengan berbagai hukuman penjara, termasuk 10 tahun penjara untuk putra Morsi, Osama. Di Mesir, warga sipil yang dijatuhi hukuman mati akan dieksekusi dengan cara digantung.