Bogor – Kabar tentang ditangkapnya seorang mantan PNS di Kemenkeu atas dugaan keterlibatan dengan kelompok teroris internasional ISIS mengangetkan banyak pihak. Apalagi saat belakangan diketahui bahwa pria berinisial TUAB ini adalah lulusan sekolah luar negeri, ia juga diketahui memiliki kehidupan yang mapan dan nyaman.
Namun ternyata, mantan aparat negara ini masih saja kepincut janji palsu kelompok teroris. Direktur deradikalisasi BNPT, Prof. Irfan Idris angkat suara terkait fenomena ini.
Dihubungi di nomor pribadinya siang ini, prof. Irfan menjelaskan bahwa kecenderungan seseorang untuk bergabung dengan kelompok teroris disebabkan oleh ketidakseimbangan antara semangat berjihad dan pengetahuan yang baik tentang jihad itu sendiri. “Berjihad versi dia itu semangat tinggi, tapi pemahan dangkal dan tumpul,” jelasnya.
Tentang pendidikan tinggi dan status sosial yang dimiliki oleh TUAB, Guru Besar di UIN Makassar ini mengatakan bahwa orang cerdas yang masih tergoda tipu daya terorisme adalah orang yang hanya cerdas secara intelektual saja, tetapi tidak cerdas secara emosional dan spiritual.
Lebih jauh, direktur yang baru saja merampungkan buku terbarunya berjudul “Membumikan Deradikalisasi” ini menyatakan bahwa fenomena seperti yang dialami oleh TUAB ini bukanlah hal baru. Ia menyebut kasusnya sama persis seperti Djoko Wiwoho di Batam pada 2015 lalu. “Ia berangkat (bergabung dengan kelompok teroris di Suriah, red) bukan karena tidak punya duit. Justru karena banyak duit, ia berjihad,” jelasnya. Namun, buru-buru ia menjelaskan, jihad yang dimaksud adalah jihad yang hanya didasari oleh semangat, bukan dengan dasar pengetahuan yang baik. Artinya, orang-orang yang jihad dengan versi ini adalah orang-orang yang sebenarnya tidak memahami makna dan urgensi jihad.
Prof. Irfan juga menyebut bahwa orang-orang yang bergabung dengan kelompok teroris sebagai orang yang gegabah. “Oknum yang bertindak gegabah begitu galau (karena ada, red) gejolak antara rasio dan keyakinan,” lanjutnya lagi.
Disinggung tentang motif bergabungnya orang-orang ‘mapan’ kedalam jaringan terorisme, Prof.Iran menyebutnya karena tidak sabar ingin segera masuk surga. “Mereka tidak sabaran mau langsung masuk surga, (padahal mereka, red) tidak kuat pondasi pemahaman keagamaan dan kebangsaannya, Tidak memahami sejarah perjuangan Islam pada masa rasul, juga tidak memahami sejarah perjuangan bangsa Indonesia,” tutupnya.