Bogor – Pertemuan silaturahmi dengan mengumpulkan para korban aksi terorisme (penyintas) dengan para mantan narapidana kasus terorisme (mitra deradikalisasi) Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) adalah bagian untuk mengembalikan fitrahnya sebagai umat manusia
Hal tersebut dikatakan Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), Dr. Hasto Atmojo Suroyo, M.Krim pada acara Silaturahmi Kebangsaan antara Penyintas dan Mitra Deradikalisai yang digelar oleh Subdit Pemulihan Korban Aksi Terorime pada Direktorat Perlindngan di Kedeputian I bidang Pencegahan, Perlindungan dan Deradikalisasi BNPT yang berlangsung di Royal Safari Garden, Cisarua, Kabupaten Bogor, Selasa (30/3/2021) malam.
“Yang mana sebagai umat Islam mengenal adanya shalat berjamaah. Dalam berbagai kesempatan saya selalu sampaikan bahwa berjamaah itu bukan hanya melalui shalat, tetapi berjamaah itu juga ada dalam hidup. Jadi selain sholat berjamaah, manusia itu juga harus menjalankan hayatul jamaah. Karena inilah esensi dari hidup bersama itu tadi,” ujar Hasto Atmojo dalam sambutannya.
Dimana sebelumnya menurutya ada dua kelompok yang saling tidak mengenal karena situasi tertentu terpisahkan oleh medan yang sangat tragis. Dimana yang satu menjadi korban dari sebuah aksi terorisme dan yang satu kelomp[ok lagi menjadi pelaku tindakan terorisme.
“Tetapi dengan adanya peretemuan ini merupakan upaya kembali kepada fitrah manusia. Semua orang punya kesalahan dan semua orang juga punya dosa. Ketika disentuh kemanusiaan itu, maka itulah kita kembali kepada fitrah manusia, dimana orang harus menghargai kemanusiaan,” ujar Hasto.
Karena menurut Hasto, kejahatan terorisme adalah kejahatan manusia yang harus diperangi oleh siapapun. Hal ini dikarenakan kejahatan terorisme ini bisa dialami oleh siapa saja, kapan saja dan dimana saja baik menimpa diri sendiri, keluaga sendiri, tetangga, teman maupun kerabat
“Oleh karena itu pencegahan, penaggulangan dan pemulihan ini adalah tanggung jawab kita bersama untuk memulihkan nilai-nilai kemanusiaan itu,” kata alumni Sosiologi dari Universitas Gajah Mada Yogyakarta ini.
Lebih lanjut dirinya menjelaskan bahwa BNPT selama ini mendapatkan mandat untuk mengatasi terorisme. Oleh karena itu BNPT memili spektrum tugas yang lebih tinggi dan luas dalam hal terorisme ini ketimbang LPSK.
“Karena BNPT melakukan upaya pencegahan, penanggulangan dan upaya deradikalisasi dan juga mengurusi para penyintgas dengan upaya pemulihan. Sedangkan bagi LPSK dalam kejahatan terorisme hanya bersentuhan utamanya dengan para korban atgau penyintas,” kata peraih gelar Magister di jurusan Kriminologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia ini..
Selain itu menrutnya, LPSK juga sudah mulai untuk menyentuh kepada para saksi yang akan memberikan kesasksian di dalam persidangan kasus-kasus terorisme Bahkan Densus 88/Anti Teror Polri pun juga sudah emlakukan koordinasi dengan LPSK.
“Yang mana ada beberapa saksi dalam kasus tindak pidana terorisme baik di dalam negeri maupun di luar negeri yang sudah direkomendasikan dan dan sudah mengajukan perlindungan kepada LPSK apabila nantinya kasus-kasus terorisme yang melibatkan saksi atau korban ini disidangkan,” ujarnya.
Dirinya juga menjelaskan bahwa dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 5 tahun 2018 tentang Penanggulangan Terorisme, yang mana para penyintas semakin terakomodir dalam melakukan upaya pemulihan dari akibat yang dideritanya dari aksi terorisme di masa lalu.
“Dengan keluarnya Undang-Undang Nomor 5 tahun 2018 ini merupakan bukti negara hadir untuk memperhatikan para korban aksi terorisme,” katanya mengakhiri.