Jakarta – Korban terorisme disebut bisa mendapat kompensasi dari negara di luar proses peradilan. Besaran ganti ruginya akan dinilai oleh lembaga terkait dan disahkan dengan penetapan pengadilan. Hal ini memungkinkan setelah Presiden Joko Widodo meneken Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2020 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah No 7 Tahun 2018 tentang Pemberian Kompensasi, Restitusi, dan Bantuan kepada Saksi dan Korban.
“Patut diakui ini merupakan terobosan besar dalam sistem hukum Indonesia karena biasanya kompensasi baru didapatkan melalui putusan pengadilan” kata Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) Hasto Atmojo Suroyo, dalam keterangan tertulisnya, Rabu (22/7/2020).
Dengan keluarnya PP ini, LPSK akan bertugas untuk menentukan besaran kerugian yang dialami korban masa lalu. Hal yang menjadi pertimbangan ialah meliputi korban luka, korban meninggal dunia, hilang pendapatan, atau hilang harta benda, serta derajat lukanya.
“Langkah selanjutnya LPSK akan berkoordinasi sejumlah pihak, seperti Kementerian Keuangan dalam soal persetujuan besaran kompensasi yang telah dihitung sambil melihat ketersediaan anggaran untuk membayarkan kompensasi tersebut,” tuturnya.
Diketahui, PP yang merupakan perubahan PP No. 7 Tahun 2018 ini mencantumkan soal mekanisme pengajuan kompensasi korban terorisme pada Pasal 18A hingga 18R. Intinya, korban, keluarga, atau kuasa hukumnya, bisa mengajukan kompensasi kepada LPSK sejak dimulainya penyidikan kasus terorisme terkiat hingga maksimal sebelum pemeriksaan terdakwa di pengadilan.
LPSK kemudian menilai kelayakan klaim kompensasi itu sebelum kemudian meminta persetujuan Kementerian Keuangan. Setelah ada keputusan LPSK, permohonan kompensasi itu akan diajukan ke penyidik yang kemudian melampirkannya dalam berkas perkara.
Berkas ini akan disampaikan ke penuntut umum sebelum pemeriksaan terdakwa. Jika pelaku teror itu meninggal, kompensasi disampaikan langsung LPSK ke pengadilan untuk mendapat penetapan.
Sebelumnya, dalam UU 31 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban, kompensasi bagi korban diberikan oleh LPSK setelah ada putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap atau inkrah. Hal ini dinilai terlalu lama prosesnya dan membuat banyak korban kesulitan dalam pembiayaan pengobatan.
Menurut Hasto, putusan hakim dalam mengadili perkara terorisme pada masa lalu belum banyak menyentuh pemenuhan hak bagi para korban.
“LPSK mencatat cukup banyak korban terorisme masa lalu yang belum menerima kompensasi dari negara,” aku dia.
“PP yang diteken oleh Presiden Joko Widodo pada tanggal 7 Juli 2020 ini, menunjukkan bukti kuatnya komitmen Pemerintah untuk hadir bagi para korban tindak pidana,” lanjutnya.
Kendati begitu, Hasto menuturkan pihaknya sudah memberikan perlindungan kepada korban terorisme. Adapun bantuan yang diberikan ialah dalam bentuk bantuan medis, psikologis dan psikososial.
“Sejumlah korban terorisme mulai dari peristiwa bom Bali I dan II, bom kedubes Australia, bom hotel JW Marriot, bom Thamrin, bom Kampung Melayu hingga bom Samarinda tercatat telah menerima ragam bantuan tersebut,” pungkasnya.