Jakarta – Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) menggandeng Perhimpunan Dokter Forensik Indonesia (PDFI) untuk menentukan derajat luka korban tindak pidana terorisme, khususnya peristiwa sebelum lahirnya Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2018.
Penentuan derajat luka diperlukan sebagai landasan LPSK dalam pengajuan kompensasi bagi korban terorisme masa lalu atau sebelum lahirnya Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2018 tentang Perubahan atas UU Nomor 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Perppu Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme menjadi UU, yang pelaksanaannya mengacu kepada Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2020.
Terkait hal tersebut dilakukan penandatanganan perjanjian kerja sama antara LPSK dengan PDFI tentang pelayanan forensik dalam rangka asesmen bagi korban terorisme. Perjanjian kerja sama ditandatangani Wakil Ketua LPSK Susilaningtias dan Ketua PDFI dr Ade Firmansyah Sugiharto di Aula Kantor LPSK, Jakarta Timur, Senin.
“Setidaknya terdapat dua hal pokok yang diharapkan dari pelaksanaan kerja sama LPSK dan PDFI. Pertama, pelaksanaan asesmen medis terhadap korban tindak pidana terorisme dan kedua, penerbitan Surat Keterangan Ahli,” ujar Ketua LPSK Hasto Atmojo dalam keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Senin (31/8/2020).
Acara tersebut dihadiri para wakil ketua LPSK, antara lain Achmadi, Antonius PS Wibowo, Livia Istania DF Iskandar, dan Maneger Nasution, serta Sekretaris Jenderal LPSK Noor Sidharta. Sedangkan dari PDFI, hadir Sekretaris Jenderal PDFI dr Budi Suhendar dan Bendahara PDFI dr Asri M Pralebda.
Menurut Hasto, kerja sama dengan PDFI diperlukan sebagai upaya LPSK melaksanakan Peraturan Pemerintah 35 Tahun 2020 tentang Pemberian Kompensasi, Restitusi, dan Bantuan kepada Saksi dan Korban, khususnya dalam memproses permohonan kompensasi korban terorisme masa lalu.
Apalagi, kata dia, pengajuan permohonan kompensasi korban terorisme masa lalu memiliki tenggat waktu hingga Juni 2021.
Hasto menjelaskan pelaksanaan asesmen medis terhadap korban tindak pidana terorisme diperlukan untuk mengetahui derajat luka yang dialami korban terorisme masa lalu. Dari pemeriksaan forensik yang dilakukan ahli, akan digunakan sebagai landasan LPSK dalam mengajukan besaran kompensasi bagi para korban.
“Dari hasil asesmen medis berupa pemeriksaan forensik, LPSK berharap rekan-rekan dari PDFI dapat menerbitkan Surat Keterangan Ahli,” katanya.
Hasto menambahkan, kerja sama LPSK dan PDFI tak lepas dari Nota Kesepahaman antara LPSK dan Ikatan Dokter Indonesia (IDI) yang ditandatangani pada April 2018. Adapun lingkup kesepahamannya perihal asesmen medis terhadap saksi dan/atau korban serta perhitungan kerugian akibat saksi dan/atau kecacatan yang diderita saksi dan/atau korban tindak pidana.
Ketua PDFI Ade Firmansyah Sugiharto menyatakan PDFI sangat mendukung kerja sama dengan LPSK. Dalam sambutannya, Ade mengutip teori keadilan yang dikemukakan John Rawls bahwa orang yang berada pada posisi paling lemah, dalam konteks ini korban tindak pidana terorisme perlu mendapatkan bantuan.
“Bantuan (bagi korban terorisme) diperlukan agar mereka bisa kembali setara dengan masyarakat lain. Kompensasi kami nilai sebagai salah satu cara ‘fairness’ bagi korban,” kata Ade.
Ade menilai dengan keahlian forensik yang dimiliki setiap anggotanya, PDFI akan maksimal membantu LPSK. Saat ini PDFI memiliki 271 anggota dokter forensik yang tersebar di seluruh Indonesia, meski memang sebagian di antaranya sudah ada yang pensiun.
“Kerja sama ini semoga bisa membantu LPSK mendapatkan landasan untuk pengajuan kompensasi bagi korban terorisme,” kata Ade.