Sekelompok pria heroik bertaruh nyawa demi menyelamatkan ratusan orang yang disandera ISIS dengan melakukan aksi yang tidak pernah dilakukan orang lain sebelumnya. Mereka menyusup ke teritori penguasaan ISIS di Irak, menyelamatkan para sandera yang ditahan ISIS, khususnya perempuan dan anak-anak. ISIS selama ini diketahui keranjingan menyandera perempuan untuk dijadikan budak nafsu seks serta objek penganiayaan.
Para penyelamat yang hanya terdiri dari sekitar tujuh anggota ini telah berhasil memboyong sekitar 500 tahanan perempuan dari cengkeraman organisasi teroris yang kejam. Namun mereka bertekad belum akan menghentikan aksinya sampai semua tawanan dari komunitas mereka berhasil diselamatkan.
Kelompok penyelamat ini tidak memiliki perencana hebat, tanpa pula dilengkapi peralatan hebat seperti tank atau senjata canggih. Mereka hanyalah orang-orang biasa yang berasal dari komunitas Yazidi, masyarakat yang kerap jadi target penahanan ISIS.
Aksi menantang bahaya yang mereka lakukan ini tentu sangat luar biasa. Tiga orang dari kelompok penyelamat ini telah terbunuh, bahaya kehilangan nyawa selalu saja mengintai setiap kali mereka melakukan aksi penyelamatan ini. Kelompok ini memang telah bertekad mempertaruhkan segalanya untuk menyelamatkan para sandera yang tidak berdosa.
Perlakuan brutal ISIS kepada para sandera perempuan sangat membekas di hati para penyelamat ini, karena kebanyakan dari sandera ini merupakan teman dan saudara mereka, bagian dari komunitas Yazidi. Orang-orang Yazidi menjadi incaran organisasi teroris ISIS karena corak keagamaan mereka dianggap mewakili kaum pagan, karena itu mereka dianggap sub–human, setengah manusia.
“Orang-orang Yazidi percaya bahwa ISIS tengah melakukan genosida kepada mereka,” kata Edward Watts, pembuat film tentang kelompok penyelamat, kepada News.com.au. “Bisakah kau bayangkan rasanya jika hal ini terjadi pada ibu atau sepupumu? Dunia tidak menolong mereka, jadi mereka mengemban tugas berbahaya ini, menyelamatkan komunitasnya sendiri.”
Dalam menjalankan aksinya, kelompok penyelamat ini memakai berbagai metode yang berbeda. Namun taktik utamanya adalah untuk mengidentifikasi lokasi para sandera dan mendaftar kelompok Sunni asal Arab yang tinggal di wilayah kekuasaan ISIS. Dengan cara ini mereka akan membawa para sandera ke titik-titik yang relatif aman.
Komunikasi bawah tanah, baik antara sesama anggota kelompok atau dengan para sandera, dilakukan dengan ponsel selundupan atau pinjaman. Ponsel ini juga yang dipakai sebagai alat navigasi. Tapi di sisi lain, teknologi ini juga bisa menjadi kelemahan bagi mereka, karena ISIS dapat sewaktu-waktu mendeteksi signal yang lalu-lalng di camp mereka.
“Dalam sebuah kasus beberapa pekan lalu, ISIS memaksa para sandera perempuan untuk mengontak jaringan penyelamat. Dua pria menjadi korban tewas karena hal ini,” ujar Watts.
Operasi dipenuhi dengan ketegangan, mengingat setiap saat selalu ada kemungkinan mereka jadi target serangan. Sebuah film dokumenter yang merekam aksi mereka, menunjukkan bagaimana aksi yang telah begitu matang direncanakan mendadak berantakan.
“Kami pernah sekali gagal dalam operasi ketika seorang bocah yang menjadi sandera mulai menangis,” kata salah seorang relawan penyelamat, Khalil.
Faktor yang menguntungkan kelompok penyelamat adalah mereka mengenal baik wilayah yang sulit tersebut, dan paham bagaimana bermanuver dalam teritori ISIS. “Selama bertahun-tahun Irak menjadi wilayah konflik. Kelompok ini sudah terbiasa hidup di bawah pemerintahan diktator. Mereka pintar,” Watt menjelaskan.
Orang-orang Yazidi percaya bahwa saat ini masih ada sekitar 2.500 perempuan dan anak-anak dari komunitas mereka yang menjadi sandera. Sebagian didistribusikan kepada para pemimpin ISIS sebagai budak seks, beberapa yang lain diperlakukan sebagai budak.
Dari beberapa penyergapan yang dilakukan pasukan Amerika kepada para tokoh penyandang dana ISIS, mereka kerap menemukan gadis muda Yazidi yang dijadikan istri secara paksa. Para sandera yang berhasil dipulangkan berada dalam kondisi trauma berat, namun mereka sudah mulai bisa berbagi cerita tentang kondisi di wilayah teroris. Bahkan mereka mulai ikut berlatih untuk menghadapi mantan penyanderanya.
“Pengalaman mereka sungguh mengerikan. Mereka berakar dari masyarakat konservatif di mana seks tidak didiskusikan. Lalu mendadak dunia mereka dihancurkan para teroris ketika mereka masih berusia remaja,” ucap Watts.
Pengaruh dari upaya penyelamat bahkan bisa mengubah tradisi hukum dalam komunitas Yazidi. Di masa lalu, perempuan kerap mendapat hukuman jika menjadi korban pemerkosaan. Kini pemimpin agama mereka telah mengatakan bahwa mereka yang bisa lolos setelah menjadi korban penyanderaan ISIS mesti diterima kembali dalam masyarakat. Tak peduli apa pun yang telah mereka alami.
Kelompok kecil penyelamat ini berhasil menyiasati organisasi teroris paling mengerikan di dunia, menyelamatkan para perempuan yang diculik dan melihat para korban pulih, bahkan menjadi lebih kuat. Ini seperti membuktikan bahwa orang-orang biasa yang terpaksa menghadapi kondisi yang paling sulit, kadang bisa melampaui ketidakmungkinan.
Sumber : News.com