Sebagai tuan rumah Indonesia tentu saja sedang bergembira merayakan pesta empat tahunan Asia melalui perhelatan Asian Games 2018 di Jakarta dan Palembang. Pembukaan Asian Games 2018 di Gelora Bung Karno kemaren tidak hanya membanggakan, tetapi juga mengangkat harkat martabat bangsa ini. Namun, di tengah kegembiraan Indonesia juga sedang berduka dengan bencana gempa yang terjadi di wilayah Nusa Tenggar Barat. Dan sungguh mengharukan di tengah efouria kegembiraan aksi simpati dan solidaritas dilakukan dengan mengheningkan cipta saat pembukaan Asian Games.
Musibah bisa terjadi kapanpun. Ketika musibah datang pertama kali dikedepankan adalah aksi simpati, empati dan solidaritas. Sikap tersebut sudah menjadi panggilan kemanusiaan. Menjadi tidak wajar digemborkan apabila bencana dimaknai sebagai semata hukuman dari Tuhan. Ketika mereka menanggung kerugian fisik dan mental akibat bencana, mereka dibebankan lagi cacat moral karena hukuman Tuhan. Sungguh menyedihkan.
Saat peristiwa gempa pertama di Lombok misalnya ada suara sumbang yang menyatakan bencana bagian dari hukuman atas masyarakat Lombok karena pemimpinnya yang berubah haluan politik. Gempa kedua kemaren ada juga yang memaknai dan mengaitkan secara serampangan sebagai hukuman karena penyelenggaraan Asian Games dengan menggunakan api obor yang dalam pandangan dangkal mereka sebagai simbol kesyirikan. Untung saja tidak ada yang mengaitkan bencana alam dengan fenomena Presiden yang menaiki Motor Gede (Moge) di pembukaan Asian Games.
Apapun selalu dikaitkan dalam korelasi negatif yang menggunakan akal tidak sehat. Nyinyir itu mestinya agak berkualitas tidak sekedar menghamburkan isu dan opini yang bisa menenggelamkan akal sehat masyarakat yang lain. Seperti misalnya salah satu media yang mengatakan bencana kali ini sebagai bentuk hukuman karena bangsa ini mengarak api obor Asian Games yang dipandang syirik.
Pertama, dalil keagamaan mereka sangat lemah dengan mengatakan api obor sebagai simbol kesyirikan. Mengarak itu seolah bangsa ini telah melepaskan keimanan. Mengarak api seolah bangsa ini telah menggadaikan kepercayaan terhadap Tuhan dengan memilih kepercayaan terhadap api. Hanya iman yang lemah yang melontarkan isu dan opini semacam itu.
Kedua, logika kurang sehat digunakan dengan menghubungkan bencana dengan hukuman Tuhan yang tidak ada hubungannya. Sementara logika sesat itu seolah dibenarkan dengan dalil-dalil agama. Menukil ayat untuk kepentingan menghujat korban bencana. Tentu saja hal ini bukan hanya sangat berbahaya tetapi juga tidak berusaha membangun kepedulian antar sesama sebagaimana perintah agama.
Ketiga, bangunan logika seperti ini setiap bencana akan sangat berbahaya dalam menghadapi setiap bencana. Pemaknaan teologis terhadap bencana penting dikembangkan dalam rangka menumbuhkan optimisme pasca bencana. Misalnya, bencana sebagai bagian ujian Tuhan untuk menguji kesabaran dan kekompakan manusia.
Wal hasil, kebisingan pandangan yang mengaitkan bencana Lombok dengan obor Asian Games harus dipandang sebagai cara pandang sekelompok orang yang sedang tidak ingin masyarakat menggunakan akal sehat dalam melihat peristiwa. Sasaran isu ini memang untuk mereka yang sama memiliki kedangkalan pemikiran. Semoga bangsa ini kuat menghadapi bencana dan kuat menghadapi isu yang disebabkan kedangkalan akal sehat.