Bandung – Seperti kita ketahui bersama bahwa sarana transportasi perkeretaapian yang ada di Indonesia yang ada di pulau Jawa dan Sumatera melintasi berbagai wilayah yang tidak steril. Hal tersebut tentunya sangat rawan dari serangan kriminal ataupun sabotase karena akses yang tidak terbatas bagi para pelaku tindakan kejahatan khususnya terorisme.
Demikian diungkapkan Vice Presiden Security Operation PT Kereta Api Indonesia, Kolonel Inf. Jagar Naibaho saat tampil sebagai narasumber dalam sesi penguatan materi di acara Sosialisasi Standar Operasional Prosedur (SOP) Penanganan Keadaaan Darurat pada Perkeretaapian dari Ancaman Terorisme yang digelar Direktorat Perlindungan Kedeputian I Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) di Hotel Kedaton, Bandung, Kamis (26/11/2015) siang.
“Perkeretaapian sangat rawan terhadap upaya sabotase ataupun terorisme. Coba kita lihat, panjang rel Kereta Api di Indonesia sepanjang 5.901 km dengan jumlah jembatan yang dilewati oleh Kereta api adalah sejumlah 13.632 buah. Lalu ada terowongan dengan jumlah sebanyak 19 buah,” ujar Jagar
Hal tersebut menurut Jagar tentunya sangat rawan terhadap aksi kriminal dan bahkan tindakan terorisme seperti sabotase dan sebagainya. Karena pengamanan di sepanjang jalur Kereta Api tentunya sangat minim apalagi sangat dekat dengan masyarakat.
“Itu akan sangat berbahaya sekali. Apalagi terowongan yang dilalui ada 19 terowongan yang banyak dibangun pada jaman Belanda. Bahkan terowongan tersebut jauh dari jangkauan jalan darat sehingga ada kesulitan evakuasi dan pertolongan jika terjadi tindakan kriminal . Misalnya terowongan atau jembatan itu di bom oleh pelaku teror ya sudah, selesai,” ujarnya.
Karena salah satu ancaman yang harus serius diwaspadai dan diantisipasi pengamanan Kereta Api adalah ancaman teroris yang saat ini sudah menjadi perhatian dunia. “Aksi yang kemungkinan kejadian bisa berupa sabotase memotong rel, memasang benda tertentu diatas rel KA agar terguling/anjlok, memasang bom di jembatan/rel/rombongan agar KA meledak, terguling masuk jurang, terkubur oleh reruntuhan terowongan atau menabrak terwongan yang sudah ditutup/diledakkan,” katanya merinci.
Dirinya telah membandingkan dengan negara seperti Cina dan negara maju lainnya dimana jalur kereta api sangat steril dari manusia karena dibatasi pagar yang sulit dilalui manusia. “Kalau di Indonesia mau disterilkan sangat susah karena nanti bisa berbenturan dengan masyarakat yang berdemo minta penggantian lahan dan sebagainya. Butuh anggaran sebesar Rp. 10 triliun untuk memproteksi lintasan kereta api. Itu sangat tidak mungkin,” katanya.
Namun demikian dirinya menyampaikan bahwa saat ini sudah dlakukan banyak pembinaan terhadap warga lingkungan sekitar rel jalur kereta api untuk melindungi kereta api. Konsep pagar hidup bagi perkeretaapian yang melibatkan masyarakat.
“Pembinaan meliputi tindakan pencegahan pelemparan, pencegahan tiadakan sabotase dan early warning system,” ujar lulusan Akmil tahun 1981 ini.
Bahkan menurutnya, beberapa stasiun sebagian sudah steril. Sebagian stasiun sudah terpasang CCTV dan terdapat security/polsus penumpang dengan sistem boarding. “Dengan kondisi seperti ini apabila ada niat tidak baik terhadap KA maka ekskusi tidak terlalu sulit. Tetapi pengamanan yang ada di desain untuk kepentingan pelayanan, tidak didesain untk menanggulangi terorisme,” ujarnya.
Dikatakannya, kedepan penggunaan Kereta Api akan semakin penting atau menjadi salah satu moda transportasi pilihan masyarakat karena waktunya yang lebih pasti, tidak terkendala macet dan daya angkut yang banyak.
“Untuk itu pengamanan terhadap Kereta Api harus mendapat penanganan yang optimal. Karena manakala terjadi kecelakaan Kereta Api maka hampir dapat dipastikan terjadinya korban yang cukup besar baik personel maupun penumpang dan kru juga prasarana Kereta Api itu sendiri,” ujarnya mengakhiri.