Jakarta – Salah satu anggota Kelompok Ahli BNPT bidang Agama, Prof. Dr. Nazaruddin Umar, MA mengaku cukup kaget dengan temuan di hasil survei nasional daya tangkal masyarakat terhadap radikalisme di 32 provinsi di Indonesia tahun 2017. Hal tersebut dikatakan Nazaruddin saat menghadiri acara seminar hasil survei tersebut yang berlangsung di Hotel Milenium, Jakarta, Senin (27/11/2017).
Dimana lima (5) posisi teratas provinsi yang tidak diduga sebelumnya ternyata memiliki daya tangkal yang rendah dan memiliki potensi radikal yang begitu tinggi.yang turut hadir dalam seminar tersebut.
“Apalagi penelitian yang dilakukan oleh BNPT dan The Nusa Institute dengan mengambil 9.600 responden dari 32 provinsi ini menarik untuk dikaji, mengingat margin errornya hanya 0,7 persen dan tingkat kepekaanya mencapai angka 91,5 %. persen. Jadi ini sangat valid,” ujar Nazaruddin Umar saat menjadi narasumber di acara tersebut
Menurut pria yang juga Imam Besar masjid Istiqlal ini, hasil survei ini menarik dikaji karena banyak sekali kejutan-kejutan dalam survei ini karena justru lima wilayah yang tidak pernah disangka sebelumnya justru menduduki posisi paling tinggi tingkat potensi radikal dan rendah daya tangkalnya di masyarakat..
“Pertama provinsi Bengkulu angkanya 58,58 % disusul Gorontalo 58, 48 %, Sulawesi Selatan 58,42 %, Lampung 58,38% dan Kalimantan Utara 58,30 %. Malah justru Sulawesi Tengah yang ada Poso justru berada di papan bawah. Jadi ini pertanda bahwa Poso itu sebenarnya masyarakat umumnya tidak radikal, tapi pendatangnya yang akhirnya isu-isu dan fakto-faktor lain membuat Poso teridentifikasi radikal<’ kata Nazaruddin.
Dengan melihat hasil tersebut menurutnya, angka diatas 50 % ini bisa dibilang sebagai warning buat bangsa Indonesia ini dan jangan menganggap masalahtersebut adalah hal sepele. “Kita tidak boleh meng-Kucingkan harimau, dan kita tidak boleh meng-Harimaukan kucing. Data data yang ditampilkan ini adalah sangat riil,” ujar pria kelahiran Bone, 23 Juni 1959 ini.
Lebih lanjut dirinya mencontohkan di Mesir yang selama ini orang melihat di Mesir seperti tidak terjadi gejolak. Namun yabg terjadi pada Jumat (24/11/2017) lalu telah terjadi peristiwa pengeboman di masjid yang memakan lebih dari 300 lebih korban meninggal.
“Tentunya kita tidak mau kecolongan. Apa yang dilakukan BNPT tentuanya sesuai dengan data. Orang tentunya tidak percaya seperti Bengkulu, Gorontalo tidak populer dalam masalah radikalisme. Tapi data kami membuktikan lima besar daerah itu perlu dicermati,” ucapnya.
Untuk itu menurutnya betapa pentingnya kita melakukan langkah-langkah untuk sekolah-sekolah tingkat SMP dan SMA yang mana dari hasil survei dua tingkat pendidikan itu sangat rentan disusupi paham radikal terorisme. “Jadi makin tinggi tingkat pendidikan seseorang maka makin kurang tingkat radikalnya. Misalnya S1 18,4 %, S2 0,9 %, bahkan S3 hampir 0 %. Jadi tingkat SMP dan SMA ini perlu dicermati,” tuturnya.
Mantan Wakil Menteri Agama ini mengatakan, sudah saatnya sekarang ini pendekatan dalam penanganan radikalisme terorisme jangan sporadis dan jangan juga parsial. Dimana sporadis itu hanya daerah tertenu yang aktif, tetapi daerah lainnya tidak dan Parsial menurutnya masing-masing mau melakukan sesuai bidangnya masing-masing tanpa mau melakukan koordinasi,.
“Kami tahu persis bagaimana Kepala BNPT ini sejak dulu menggalang kemitraan bersama-sama bahkan bukan hanya sesama pemerintah, tapi juga dengan ormas-ormas keagamaan, ormas-ormas sosial yang lain itu kita jalin kerjasamanya untuk meredam ini,” ujarnya.
Apa yang dilakukan BNPT menurutnya telah banyak mendatangkan hasil jika dibandingkan dengan negara-negara lain. “Banyak sekali negara negara lain yang datang ke Indonesia untuk belajar. Alhamdulillah, keberhasilan BNPT selama ini menjadi tempat belajarnya negara-negara yang besar untuk datang kesini untuk belajar seperti apa yang BNPT lakukan,” ujar mantan Dirjen Bimas Islam Kemenag ini mengakhiri.