Dublin – Garda untuk Keamanan dan Intelegensi Nasional Republik Irlandia atau Garda Síochána, meyakini mayoritas ekstremis Islam Irlandia yang bergabung dengan Islamic State (ISIS) di Suriah dan Irak sudah tewas atau hilang. Berdasarkan catatan Garda, ada sekitar 30 ekstremis Islam yang meninggalkan Irlandia untuk bergabung dengan ISIS.
“Kami yakin sebagian besar dari mereka sudah tewas atau hilang di medan tempur. Tinggal tersisa sedikit yang diketahui masih hidup,” kata Asisten Komisaris Garda Síochána, Michael O’Sullivan pada Konferensi Interpol di Dublin yang dilansir thejournal, Rabu (16/5).
“Dan yang masih hidup itu secara total dalam perhitungan kami tergabung bersama sekitar 2.000 milisi asing ISIS atau yang bukan warga Irak dan Suriah. Mereka sekarang berpencar ke beberapa wilayah perang ISIS lainnya seperti ke Filipina dan wilayah Tanduk Afrika,” sebutnya lagi.
Dikatakan O’Sullivan, saat ini dunia keamanan internasional sudah menyatakan kekhawatirannya terhadap gerakan berpencar ribuan milisi tersebut ke wilayah lain. Meski belum ada bukti ada dari mereka yang kembali ke Eropa, termasuk juga ke Irlandia, keamanan internasional tetap penuh kewaspadaan dan terus memantau.
“ISIS atau kami menyebutnya Daesh sudah kalah di Suriah dan Irak. Dan menurut pantauan intelijen kami, sekarang mereka coba berkumpul lagi untuk menyusun kekuatan baru menyerang dunia Barat. Kami terus pantau perkembangannya dan tetap waspada,” jelas O’Sullivan.
Di Irlandia, lanjut O’Sullivan, berdasarkan sensus terakhir tercatat ada 60.000 warga muslim. Mereka diketahui sebagai komunitas warga yang sangat taat hukum dan punya banyak kesibukan. Cuma ada sedikit orang yang dicurigai sebagai simpatisan ISIS dalam komunitas tersebut dan selalu berada dalam pantauan.
“Orang yang dicurigai terus kami pantau pergerakannya. Kami juga tak khawatir karena Gardai punya sumber daya dan kemampuan untuk menangani serangan teror dadakan,” jelasnya sambil merujuk penanganan dua insiden teror di Kota Dublin yang berhasil diatasi Gardai dalam tempo kurang dari lima menit.
“Dan kami juga selalu berkomunikasi dan bekerja sama dengan kepolisian di negara Eropa lainnya sebagai langkah antisipasi kemungkinan terburuk aksi teror yang bisa muncul kapan saja dan di mana saja,” demikian pungkas O’Sullivan.