Kelompok atau faksi Abu Sayyaf di Filipina kini semakin membuat geram pejabat keamanan dan pertahanan Indonesia yang bertanggung jawab terhadap keselamatan warga negaranya. Mereka menculik WNI di kawasan laut wilayah juridiksi Malaysia dan Filipina. Pada saat pemerintah Indonesia tengah berusaha membebaskan tujuh WNI yang diculik kelompok ini pada tanggal 21 Juni 2016 , mendadak diberitakan ada tiga WNI lagi diculik pada tanggal 9 Juli 2016 sekitar pukul 20.33 (waktu setempat) di sekitar perairan Felda Sahabat, Tungku, Lahad Datu, Malaysia. Mereka diculik adalah awak kapal kapal pukat penangkap ikan (LLD113/5/F) milik pengusaha Malaysia. Dari tujuh awak, tiga orang awak berpaspor WNI mereka culik, sementara empat warga Malaysia, dibebaskan. Tiga WNI yang diculik bernama Lorence Koten (34), Teodorus Kopong (42) dan Emanuel (40).
Dengan demikian maka saat ini tercatat ada 10 WNI yang diculik dan disandera oleh kelompok Abu Sayyaf. Pada penyanderaan tanggal 21 Juni 2016, tujuh WNI yang diculik di Kepulauan Sulu, Filipina Selatan adalah ABK tugboat Charles 001(berbendera Indonesia). Penculikan dilakukan dua kali. Pertama, dilakukan terhadap tiga orang, yaitu Kapten Fery Arifin (nahkoda), Muhammad Mahbrur Dahri (KKM) dan Edy Suryono (Masinis II). Kedua, selang 1,5 jam kemudian, terjadi penyanderaan terhadap empat ABK WNI lainnya (dilakukan oleh kelompok berbeda), yaitu Ismail (Mualim I), Robin Piter (Juru Mudi), Muhammad Nasir (Masinis III) dan Muhammad Sofyan (Oilman). Selain 10 WNI, Abu Sayyaf saat ini masih menyandera seorang warga Belanda, seorang WN Norwegia, dan lima warga Filipina. Dua sandera WN Canada dan seorang WN Malaysia telah mereka eksekusi dalam beberapa bulan terakhir. Dari hasil monitoring kondisi sandera, Menlu RI Retno marsudi mengatakan bahwa tujuh di antara 10 sandera dalam kondisi kelelahan karena menjalani hari-hari penyanderaan sejak 21 Juni lalu. “Ketujuh ABK, walaupun terdengar lelah, mereka masih dalam kondisi baik,” kata Retno. Para sandera masih terus berpindah-pindah dalam dua kelompok dan diperkirakan selalu berada di sekitar Pulau Sulu. “Informasi serta latar belakang kelompok penyandera saat ini telah lebih jelas,” ujarnya. Hal itu dipastikan Panglima TNI, Jenderal Gatot Nurmantyo, di Mabes TNI, Cilangkap, Jakarta Timur, Senin malam, 27 Juni 2016. Kata Panglima, empat WNI disandera kelompok Al-Habsyi, sedangkan tiga orang ditawan kelompok Abu Sayyaf. Kelompok Al-Habsyi, menurut Gatot, meminta uang tebusan sebesar 200 juta peso pada perusahaan tempat para WNI bekerja, yakni PT Rusianto Bersaudara sebesar 200 juta peso, atau sekitar Rp55-60 miliar.
Sementara untuk ketiga WNI lainnya, kata Gatot, hingga kini masih belum diketahui keberadaannya. Pihaknya hingga kini mengaku masih terus melakukan pencarian. “Yang mereka minta (tebusan) adalah empat orang. Tiga orang belum, kita pastikan di mana itu, masih dicari,” tuturnya. Menurut keterangan Jackried Kanselir Maluengseng, keluarga dari Edgar Lahiwu, satu dari enam ABK yang telah dibebaskan. Kelompok Abu Sayyaf menuntut tebusan sebanyak 20 juta ringgit atau sekitar Rp59 miliar untuk pembebasan tujuh WNI yang disandera. “Mereka (Abu Sayyaf) menahan 7 kru lainnya sebagai jaminan untuk permintaan tebusan 20 juta ringgit yang harus dibayar PT Rusianto Bersaudara di Samarinda,” kata Jackried Kanselir Maluengseng, setelah menghubungi ponakannya Edgar Lahiwu, ABK yang sudah dibebaskan, Kamis, 23 Juni 2016 di Manado, Sulawesi Utara.
Ketujuh sandera itu dibagi dalam dua kelompok, kelompok pertama membawa Ferry Arifin (nahkoda), Mohamad Mabrur (KKM) dan Eddy (masinis 2). Sementara kelompok kedua membawa Ismail (chief officer), Mohamad Nasir (masinis 3), Robin Piters (juru mudi) Mohamad Sofyan (oliman). Kepolisian Malaysia di bawah Komando Keamanan Sabah Timur (Esscom) tengah memburu kelompok bersenjata yang menculik tiga pelaut Indonesia yang diculik di perairan Sabah Sabtu malam. Komisaris Polisi Sabah Abdul Rashid Harun pada hari Minggu (10/7/2016), mengatakan aparatnya telah memberitahukan polisi Filipina terkait peristiwa yang terjadi pada tengah malam ini. Menurut laporan polisi, ketiga WNI tersebut diculik oleh lima pria bersenjata, beberapa mengenakan pakaian militer, di perairan Tungku, bagian timur pesisir Lahad Datu, Sabah. Ketiga WNI tengah mencari ikan di kapal yang resmi terdaftar di Malaysia.
Kepolisian Malaysia menduga kuat bahwa pelaku penyanderaan adalah komplotan Apo Mike, bagian dari kelompok separatis Abu Sayyaf di Filipina Selatan. Komplotan Apo Mike berada di balik beberapa kasus penculikan sebelumnya di perairan antara Sabah dan Filipina. “Itu (Apo Mike) pecahan faksi Abu Sayyaf yang murni beroperasi sebagai penculik dan perompak di sepanjang pantai perbatasan Sabah dan Tawi-Tawi, Sulu, Malaysia,” katanya. Ridlwan Rashid mengatakan, kelima pria bersenjata itu menggunakan speed boat kemudian naik ke kapal korban. Tiga di antara mereka bersenjatakan senapan M14 dan M16. Mereka lantas memerintahkan empat ABK asal Indonesia dan tiga “pelau (pengembara laut)” berkumpul di geladak. Pelaku meminta paspor mereka, yang tidak membawa dibebaskan, justru ketiga WNI yang membawa paspor Indonesia langsung mereka bawa. Sebelumnya bulan Mei lalu kelompok Abu Sayyaf membebaskan 14 WNI yang mereka culik. Abu Sayyaf meminta tebusan dalam jumlah besar, namun pemerintah membantah pembebasan itu melibatkan pembayaran sejumlah uang. Meskipun Abu Sayyaf terus melakukan penyanderaan dan pembunuhan, Presiden Filipina, Rodrigo Duterte kini mengatakan bahwa anggota kelompok militan itu bukan pelaku kriminal. Dalam sebuah pidato Idul Fitri, Duterte berkata, “Saya tidak memasukkan Abu Sayyaf ke kelompok kriminal. Kalian tidak pernah mendengar saya mengatakan mereka adalah kriminal.” Menurut Duterte, Abu Sayyaf melakukan kekerasan karena disetir oleh keputusasaan. “Pengingkaran janji,” kata Duterte, Presiden Joko Widodo sebelumnya telah mengirim surat kepada pemimpin baru Filipina Rodrigo Duterte, meminta perhatian lebih atas kasus penculikan WNI. Sementara Menteri Pertahanan tiga negara, dari Indonesia, Malaysia dan Filipina minggu ini akan melakukan pertemuan di Kuala Lumpur untuk membahas kasus penculikan terbaru WNI oleh kelompok bersenjata di lautan.
“Menhan akan melakukan pertemuan dengan Menhan Filipina dan Malaysia di Kuala Lumpur. Ada urgensi agar pertemuan tersebut dapat menghasilkan sesuatu yang konkret yang dapat diimplementasikan,” kata Menteri Luar Negeri RI Retno Marsudi usai pertemuan dengan Panglima TNI Gatot Nurmantyo di kantor Kemenkopolhukam, Menurut Retno, perundingan dengan Malaysia dan Filipina terkait penculikan di laut telah dilangsungkan bulan Mei lalu. Pertemuan tersebut dilakukan menyusul penculikan 14 ABK WNI oleh kelompok Abu Sayyaf asal Filipina. Dalam pertemuan itu disepakati prosedur standar jika terjadi lagi kasus penculikan, namun belum diberlakukan di lapangan. “Dalam pertemuan di Yogyakarta tanggal 5 Mei 2016 kemudian diikuti negosiasi SOP antara panglima ketiga negara, ada tim negosiasi yang terdiri dari beberapa kementerian kita, sudah ada draft teks yang sebenarnya bisa kita tanda tangani,” kata Retno. “Urgensi untuk segera memberlakukan kerja sama di lapangan ini menjadi lebih penting dari pada sebelumnya,” lanjut dia lagi. Panglima Gatot menyatakan TNI telah menyiapkan pasukannya untuk kemungkinan permintaan bantuan dari pemerintah Filipina dan Malaysia dalam pembebasan sandera dan mengamankan lintas laut. “TNI menyiapkan prajuritnya untuk mengawal kapal nelayan dan batu bara yang melintas. Untuk pembebasan sandera kami juga menyiapkan pasukan, untuk patroli bersama kami juga siap,” kata Gatot.
Pertemuan para Menhan besok diharapkan bisa menyertakan TNI dalam upaya pembebasan sandera. Namun kata Gatot, perlu ada izin dari pemerintah Filipina agar TNI bisa masuk ke sana. “Kita punya peluang. Menhan akan bertemu di KL. Tadi sudah disampaikan koridor apa yang akan disampaikan Menhan, itu untuk membuka peluang bagi kita untuk melakukan apa yang tadi saya sampaikan,” kata Gatot. Militer Filipina pada Senin (11/6) menyatakan mereka telah melakukan penyerbuan. Dalam sepekan terakhir pertempuran terjadi di Pulau Basilan dan Sulu sejak Rabu pekan lalu. Seorang anggota tentara tewas, sementara 40 pemberontak Abu Sayyaf tewas dan lebih dari 20 orang terluka. “Pertempuran besar masih berlangsung melibatkan kendaraan bersenjata, artileri, dan dukungan udara,” kata Filemon Tan, juru bicara Komando Mindanao kepada wartawan. Menteri Pertahanan Filipina mengatakan bahwa penyerbuan ke Abu Sayyaf merupakan prioritas utamanya. Presiden Indonesia Joko Widodo memerintahkan kementerian dan lembaga terkait untuk segera menindaklanjuti perjanjian yang disepakati antara tiga negara yakni Indonesia-Filipina-Malaysia, di Yogyakarta pada Mei lalu. Kesepakatan trilateral ini dinilai dapat mengatasi pembajakan kapal di perairan Indonesia-Malaysia-Filipina yang telah terjadi berulang kali. Menurut Juru Bicara Presiden Johan Budi, Jokowi menyampaikan pesan ini kepada pada Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo, Menteri Luar Negeri Retno LP Marsudi, dan Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Luhut Binsar Pandjaitan.
Fakta Penculikan Oleh Abu Sayyaf Pada Tahun 2016
Sabtu (2/4/2016), membajak kapal berbendera Malaysia, MV MASFIVE 6, yang membawa 9 ABK itu dicegat 8 pria bersenjata ketika berlayar di dekat Pulau Ligitan, pulau kecil di Tawau, Sabah yang sempat jadi sengketa Malaysia dan Indonesia. Para pelaku dilaporkan menodongkan senjata api dan memaksa awak turun dari kapal, kemudian membawa pergi empat warga Malaysia dari kapal tersebut. Sedangkan lima awak kapal lainnya (3 Myanmar dan 2 WNI), tidak ikut dilepaskan.
Pada 15 Maret 2016 Kapal Tugboat Brahama-12 bertolak dari Banjarmasin menuju Filipina dengan 10 awak. Kapal kemudian dilaporkan dibajak pada Sabtu (26/3) dengan nahkoda kapal Peter Tonsen Barahama dari perusahaan PT Patria Maritime, Banjarmasin, Kalimantan Selatan. Peter melaporkan bahwa mereka diculik oleh orang bersenjata yang meminta tebusan sebesar 50 juta peso atau setara Rp14,2 miliar. Ke-10 sandera akhirnya dibebaskan pada tanggal 1 Mei 2016. Jumat 15 April 2016 kembali terjadi pembajakan oleh kelompok teroris Abu Sayyaf terhadap kapal tunda dan tongkang berbendera Indonesia yang berisi 10 WNI di perairan Filipina Timur dari Mataking Island. Pembajakan terhadap kapal Tunda TB Henry dan kapal Tongkang Cristi di perairan perbatasan Malaysia-Filipina pada hari Jumat 15 April 2016 sekitar pukul 18.31 WIB. Empat WNI diculik, satu ditembak dan lima dibebaskan. Sandera berhasil dibebaskan tanpa diketahui apakah terjadi transaksi pembayaran. Dari beberapa data serta analisis kasus, trend yang menarik terlihat dalam waktu tiga tahun terakhir terjadi peningkatan pembajakan, terutama setelah pimpinan Abu Sayyaf di Basilan, Isnilon Hapilon ber’baiat kepada pemimpin ISIS, Abu Bakar Al-Baghdadi pada 2013. Pada tahun 2012 hanya terjadi 6 kasus penculikan, kasus naik menjadi 16 pada 2013, naik lagi menjadi jadi 22 kasus pada 2014. Sementara angka penculikan Abu Sayyaf pada 2015 diperkirakan lebih dari 30 kasus. Dari 108 kasus, sebanyak 25 persen atau 27 kasus penculikan oleh Abu Sayyaf targetnya adalah orang asing.
Pembebasan Empat Sandera ABK WN Malaysia
Sejak 1 April 2016, empat ABK asal Malaysia telah diculik oleh Abu Sayyaf di Pulau Ligitan. Keempat sandera itu terdiri dari sepasang bersaudara Wong Teck Pang (31) dan Wong Teck Chi (29). Kemudian sepupu mereka, Johnny Lau Jung Hien (21), dan satu orang yang bukan kerabat, Wong Hung Sing (34). Empat pelaut tersebut dibebaskan dari Filipina Selatan pada hari Rabu (8/6/2016) setelah pihak keamanan mengupayakan negoasiasi untuk kebebasan mereka selama sekitar dua bulan. Para sandera kemudian dibawa oleh pasukan khusus kepolisian Malaysia ke negara bagian Sabah, Kepala polisi Malaysia, Khalid Abu Bakar pada konferensi pers di Kuala Lumpur, Kamis (9/6), menyatakan pihak berwenang tidak membayar uang tebusan untuk membebaskan empat pelaut Malaysia yang disandera Abu Sayyaf sejak April lalu. Khalid tidak menyatakan langkah yang mereka tempuh dalam upaya pembebasan tersebut. Akan tetapi, Khalid menyetujui bahwa sanksi terhadap perdagangan amat membantu negosiasi ini. “Saya percaya itu jadi salah satu alasan,” katanya.
Sejak terjadinya penyanderaan, pemerintah Malaysia sejak April 2016 mengeluarkan larangan perdagangan barter di antara kawasan Sabah dan Filipina Selatan. Larangan ini memberi tekanan yang signifikan kepada para gerilyawan. Masyarakat lokal menekan kelompok bersenjata untuk melepaskan empat awak kapal tunda Malaysia tersebut, karena harga bahan pokok di Filipina Selatan semakin meningkat akibat sansi tersebut. Memang tidak jelas apakah keluarga membayar pembebasan itu, pihak keluarga diketahui sempat berupaya menggalang dana.
Bagaimana Sebaiknya Langkah Indonesia
Nampaknya dalam kasus penyanderaan oleh Abu Sayyaf terhadap WNI ini bak duri dalam daging, kecil tetapi menimbulkan infeksi. Bukan merupakan ancaman terhadap keamanan nasional. Tetapi menimbulkan geram, ketersinggungan, kekesalan dengan lambat dan kurang koperatifnya Filipina dalam penanggulangan gangguan. Militer Filipina memang menyerang Abu Sayyaf di Basilan dan Sulu, tetapi tetap saja kawasan laut Sulu tetap tidak aman dan masih terjadi pembajakan dan penculikan WNI.
Pada bulan Mei lalu Presiden Jokowi telah berinisiasi mengundang Panglima Angkatan Bersenjata Malaysia dan Filipina bertemu dengan Panglima TNI dalam kesepakatan trilateral di Jogja pada bulan Mei 2016. Menurut Juru Bicara Presiden Johan Budi, Jokowi menyampaikan pesan kepada pada Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo, Menteri Luar Negeri Retno LP Marsudi, dan Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Luhut Binsar Pandjaitan agar kesepakatan segera dilaksanakan. Kesepakatan Jogja yaitu melakukan join coordinated patrol, membentuk national vocal point dan membuat hotline of communication di antara tiga negara juga dengan tujuan cepat tanggap saat darurat. Ada yang mungkin perlu dilengkapi sehingga kesepakatan tidak mulus, bahwa juga diperlukan pembicaraan khusus antara Menhan ketiga Negara, karena hal tersebut menyangkut masalah politik dan pertahanan. Oleh karena itu kini pertemuan antara ketiga Menhan tiga Negara akan melengkapinya. Nah, membacanya Abu Sayyaf bukanlah ancaman tetapi hanyalah bentuk gangguan bagi Indonesia memang harus dilihat dari sisi strategis dan taktis. Sisi strategis adalah langkah top level, berbicara tentang kebijakan pemerintah Filipina yang melarang militer negara lain masuk ke wilayahnya. Hal ini akan ditemukan solusinya dalam porsi pertemuan antar Menhan, batas-batas kewenangan masing-masing militer dalam operasi/patroli/pengawalan laut gabungan. Memang diperlukan sebuah perencanaan yang dikatakan Menhan bentuk latihan bersama dalam gelar patroli laut agar lebih efentif dan efisien.
Selain itu langkah-langkah taktis adalah implementasi di lapangan, berapa besar pelibatan alutsista dan pasukan tempur/anti teror. Apabila disetujui seperti disebutkan Panglima TNI, bahwa TNI siap memberikan kawalan bersenjata kepada kapal berbendera Indonesia yang berlayar di kawasan merah (rawan pembajakan). Mungkin itu yang perlu segera dilakukan, karena Abu Sayyaf melihat bahwa WNI yang berlayar di laut Filipina Selatan cukup banyak dan bak gula manis yang bisa mereka hisap uang perusahannya. Sebagai penutup, melihat langkah pressure dari blokade barter dagang oleh pemerintah Malaysia di Sabah dengan Filipina Selatan yang cukup efektif dalam membebaskan sandera, maka Indonesia bisa tetap menerapkan moratorium pengiriman batu bara ke Filipina. Mereka dipastikan akan merasakan kesulitan pasokan listrik, mengingat 90 persen suplai batu bara dari Indonesia. Efek ekonomisnya jelas akan sangat besar bagi rakyat Filipina. Akan tetapi di lain sisi, pemerintah Indonesia juga perlu memperhitungkan resiko apabila ada sandera WNI yang mereka eksekusi, penulis perkirakan akan muncul gelombang tekanan berupa protes kepada pemerintah yang akan menurunkan kepercayaan dan citra. Mohon di waspadai ini Sir.