Langkah Pencegahan BNPT Sesuai Spirit Revisi UU Terorisme

Jakarta – Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) menggandeng
Yayasan Lingkar Perdamaian pimpinan mantan teroris, Ali Fauzi Manzi,
Rabu (29/3/2017) pekan lalu, melakukan peletakan batu pertama
pembangunan TPA Plus dan renovasi masjid Baitul Muttaqin di desa
Tenggulung, Solokuro, Lamongan. Peletakan batu pertama itu dilakukan
oleh Kepala BNPT Komjen Pol. Drs. Suhardi Alius, MH. Sebelum itu, BNPT
bahkan telah meresmikan masjid Al Hidayah di pesantren pimpinan mantan
teroris lainnya, Khairul Ghazali di Deliserdang. Rencananya, upaya
serupa juga akan dilakukan di Bima, Nusa Tenggara Barat (NTB).

Langkah-langkah pencegahan dengan merangkul dan memanusiakan mantan
teroris ini adalah bagian penanggulangan terorisme dari hulu sampai
hilir yang diusung Kepala BNPT Komjen Pol. Drs. Suhardi Alius, MH.
Langkah ini dinilai sesuai dengan spirit Revisi Undang-Undang (RUU)
Terorisme yang kini tengah digodok Panitia Khusus (Pansus) RUU
Terorisme.

“Mungkin ini karena hati beliau (Kepala BNPT) yang tulus sehingga bisa
melihat akar persoalan sebenarnya dengan apa yang disebut terorisme.
Ini adalah langkah asli Indonesia. Ke depan kita ingin masalah
terorisme dengan penanganan ala Indonesia tidak dengan ala lainnya,
sehingga proses reintegrasi saudara-saudara kita bisa berjalan sesuai
kaidah kehidupan bangsa Indonesia,” kata Ketua Pansus RUU Terorisme
Muhammad Syafii di Jakarta, Selasa (4/4/2017).

Muhammad Syafii juga hadir dalam peletakan batu pertama itu.
Menurutnya, langkah BNPT sesuai dengan tiga landasan spirit dari
Pansus RUU Terorisme dalam menyusun UU Terorisme yaitu spirit
pencegahan, spirit penegakan hukum, dan spirit penghormatan Hak Azasi
Manusia (HAM).

“Kami dari DPR RI, sepakat untuk terus mengawal UU ini, sehingga
ketika rampung nanti, UU ini bukan alat untuk membantai manusia
Indonesia, tapi untuk melindungi segenap bangsa dan tumpah darah
Indonesia. Ini senada dengan upaya pak Suhardi Alius dan BNPT dalam
menangani mantan teroris,” imbuh Syafii.

Anggota Komisi III dari Fraksi Gerindra ini mengungkapkan, sempat
berdialog dengan Ali Fauzi di sela-sela peletakaan batu pertama itu.
Saat itu, ia bertanya kenapa adik bomber Bom Bali, Amrozi dan Ali
Imron ini bisa berubah dan kini bahkan aktif mengajak kombatan lainnya
untuk tidak lagi menggeluti dunia terorisme.

“Dia mengatakan, mendapat perlakuan sangat manusiawi oleh aparat saat
ditahan sampai di dalam penjara, yang tidak pernah dibayangkan
sebelumnya. Dari situ, Ali Fauzi menyadari langkah yang ditempuh
selama ini salah sehingga ia kemudian kembali ke pangkuan ibu pertiwi
dan mendirikan Yayasan Lingkar Perdamaian. Ia juga menyadari ternyata
berjihad bisa dengan cara positif, bukan dengan mengangkat senjata,”
ungkap Syafii.

Pada kesempatan itu, Muhammad Syafii menjelaskan proses RUU Terorisme.
Ia memaparkan bahwa pada Februari 2016, pemerintah menyampaikan RUU
inisiatif pemerintah tentang pemberantasan tindak pidana terorisme
untuk menggantikan UU Nomor 15 Tahun 2003. Ketika menerima RUU ini,
pemerintah memasang target paling lama tiga kali masa sidang atau
sekitar kurang lebih tujuh bulan RUU ini bisa jadi UU. Tapi begitu
Pansus membaca konten RUU ini, terasa bahwa RUU itu bukan untuk
memberantas terorisme, tapi memberantas teroris.

“Teroris dan terorisme itu pasti berbeda. Teroris itu pelakunya,
sedangkan terorisme itu keyakinan,” jelasnya.

Dari situ, lanjut Muhammad Syafii, Pansus yang terdiri dari 10 fraksi
kemudian berunding dan disepakati bahwa Pansus tidak bisa ikut begitu
saja dengan RUU yang diajukan, tetapi memperluas dengan landasan
spirit pemberantasan terorisme, kedua spirit penegakan hukum, dan
ketiga spirit penghormatan HAM.

Berdasarkan ketiga spirit itu maka konstruksi UU ini berubah total.
“Dari semata-mata dar der dor (penindakan), RUU ini kemudian dibagi
menjadi tiga bagian terpenting. Pertama pencegahan, kedua penindakan,
ketiga penanganan, apakah itu berupa kompensasi dan rehabiltasi pasca
peristwia terorisme,” tutur Syafii.

Perubahan konstruksi ini rupanya tidak hanya memerlukan penambahan
narasumber dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) dan RDPU dan RDP, tapi
mengejutkann pihak pemerintah. Akhirnya ada 15 kali pemerintah mohon
waktu untuk mengkonsolidasi pendapat, walau pada akhirnya pemerintah
mendukung sepenuhnya konstruksi yang dibangun Pansus, bahwa UU ini
bukan hanya untuk penindakan, tapi malah lebih pada pencegahan untuk
menghilangkan reproduksi atau munculnya teroris yang baru.

Syafii melanjutkan, Pansus sempat berpikir akan perluasan pembahasan
RUU ini akan sulit karena terbiasa dengan langkah yang dilakukan oleh
aparat selama ini. Tetapi betapa mengejutkan bagi Pansus, saat masih
berbicara pada tataran kamsek, kepala BNPT ternyata sudah bisa melihat
akar persoalan yang sebenarnya. Hal inilah yang membuat pembahasan RUU
Terorisme semakin mengerucut dan diharapkan bisa secepatnya selesai
dalam beberapa bulan kedepan.

“UU bukan untuk menangkap atau menghukum rakyat Indonesia, karena
semua peraturan, aparat, piranti hukum adalah untuk melindungi segenap
anak bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia,” pungkas Muhammad
Syafii.