Landasan Hukum Global dan Nasional Penegakan Terorisme

1. Landasan Hukum Global
A. Konvensi Chicago (disetujui pada 1944 – penentuan wilayah hukum yang menyangkut pesawat udara) :
  1. Menyatakan bahwa pesawat udara menyandang kebangsaan negara tempat pesawat tersebirt terdaftar
  2. Flag state (negara yang benderanya digunakan) boleh menerapkan hukum pidana terhadap pelaku tindakan di atas pesawat itu3. Negara yang wilayahnya menjadi ajang tindak kriminal itu boleh menerapkan hukum pidana mereka
B. Convention on Offenses and Certain Other Acts Committed On Board Aircraft (Konvensi tentang Pelanggaran dan Tindakan Tertentu Lainnya yang Dilakukan Diatas Pesawat Udara) (Konvensi Tokyo, disetujui pada bulan September Tahun 1963 keselamatan penerbangan):
  1. Berlaku untuk tindakan yang mempengaruhi keselamatan dalam pesawat
  2. Memberikan wewenang kepada komandan pesawat untuk melakukan tindakan yang wajar, termasuk penangkapan, setiap orang yang menurut pendapatnya telah atau akan melakukan tindakan tersebut, jika diperlukan untuk melindungi keselamatan pesawat dan untuk alasan terkait
  3. Mengharuskan negara yang dirugikan menahan para pelaku dan mengembalikan kontrol pesawat itu kepada komandan yang sah

C. Convention for the Suppression of Unlawful Seizure of Aircraft (Konvensi untuk Meredam Perampasan Pesawat secara Melawan Hukum) (Konvensi Den Haag, disetujui pada 12/70—pembajakan pesawat udara) :
  1. Termasuk pelanggaran jika ada orang di dalam pesawat yang sedang terbang [untuk] “secara melanggar hukum, dengan kekerasan atau ancaman, atau bentuk intimidasi lainnya, [untuk] merampas atau mengambil alih control atas pesawat itu” atau berupaya melakukan hal tersebut
  2. Mengharuskan pihak-pihak dalam Konvensi menyatakan bahwa pembajakan bisa dihukum dengan ‘hukuman berat’
  3. Mengharuskan pihak-pihak yang menahan si pelaku untuk mengekstradisi si pelaku atau menyerahkan kasusnya untuk dituntut secara hukum
  4. Mengharuskan pihak-pihak untuk saling membantu sehubungan dengan prosiding pidana yang dinyatakan dalam Konvensi
D. Convention for the Suppression of Unlawful Acts Against the Safety of Civil Aviation (Konvensi untuk Meredam Tindakan Melawan Hukum terhadap Keselamatan Penerbangan Sipil) (Konvensi Montreal, disetujui pada 9/71— berlaku untuk aksi sabotase penerbangan seperti serangan bom di atas pesawat yang sedang terbang) :
  1. Termasuk pelanggaran jika ada orang yang secara melawan hukum dan secara sengaja melakukan tindakan kekerasan terhadap seseorang di atas pesawat yang sedang terbang, jika tindakan itu cenderung membahayakan keselamatan pesawat; meletakkan alat peledak di atas pesawat; dan mengupayakan tindakan itu atau menjadi pembantu orang yang melakukan atau berupaya melakukan tindakan tersebut
  2. Mengharuskan pihak-pihak dalam Konvensi menyatakan bahwa pelanggaran itu bisa dihukum dengan ”hukuman berat”
  3. Mengharuskan pihak-pihak yang menahan si pelaku untuk mengekstradisi si pelaku atau menyerahkan kasusnya untuk dituntut secara hukum
  4. Mengharuskan pihak-pihak untuk saling membantu sehubungan dengan prosiding pidana yang dinyatakan dalam konvensi
E. Convention on the Prevention and Punishment of Crimes Against Internationally Protected Persons (Konvensi tentang Pencegahan dan Penghukuman Kejahatan terhadap Orang yang Dilindungi secara Internasional) (disetujui pada 12 / 73–melindungi pejabat pemerintah dan diplomat senior) :
  1. Mendefinisikan orang yang dilindungi secara internasional sebagai Kepala Negara, Menteri Luar Negeri, perwakilan atau pejabat negara atau pejabat organisasi internasional yang berhak mendapatkan perlindungan khusus dari serangan menurut hukum internasional
  2. Mengharuskan setiap pihak untuk mempidana dan menghukum “dengan hukuman yang wajar dengan mempertimbangkan sifat keganasan,” pembunuhan, penculikan, atau serangan lain yang disengaja terhadap orang atau kebebasan orang yang dilindungi secara internasional, serangan ganas terhadap kompleks resmi, tempat tinggal pribadi, atau sarana transportasi orang tersebut; serangan atau upaya untuk melakukan serangan tersebut; dan tindakan yang ”tergolong berpartisipasi sebagai pembantu”
  3. Mengharuskan pihak-pihak yang menahan si pelaku untuk mengekstradisi si pelaku atau menyerahkan kasusnya untuk dituntut secara hukum
  4. Mengharuskan pihak-pihak untuk saling rnembantu sehubungan dengan prosiding pidana yang dinyatakan dalam Konvensi
F. Convention on the Physical Protection of Nuclear Material (Konvensi tentang Perlindungan Fisik terhadap Bahan Nuklir) (Konvensi Bahan Nuklir, disetujui pada 10 / 79 — memerangi pengambilan dan penggunaan bahan nukir secara melawan hukum):
  1. Mempidana pemilikan, penggunaan, transfer, dll. yang dilakukan secara melawan hukum, yang menyangkut bahan nuklir, pencurian bahan nuklir, dan ancaman untuk menggunakan bahan nuklir untuk menyebabkan kematian atau cedera parah pada orang atau kerusakan parah pada properti
  2. Mengharuskan pihak-pihak yang menahan si pelaku untuk mengekstradisi si pelaku atau menyerahkan kasusnya untuk dituntut secara hukum
  3. Mengharuskan pihak-pihak untuk saling membantu sehubungan dengan prosiding pidana yang dinyatakan dalam Konvensi
G. International Convention Against the Taking of Hostages (Korvensi Intemasional tentang Penyanderaan) (Konvensi Sandera, disetujui pada 12 / 79) :
  1. Menyatakan “setiap orang yang merampas atau menahan dan mengancam untuk membunuh, mencederai, atau terus menahan orang lain untuk memaksa pihak ketiga, yakni suatu negara, organisasi antar-negara internasional, pribadi hukum atau badan hukum, atau kelompok orang, untuk melakukan atau tidak melakukan suatu tindakan sebagai kondisi tersurat maupun tersirat untuk pembebasan sandera telah melakukan pelanggaran penyanderaan menurut arti dalam Konvensi ini”
  2. Mengharuskan pihak-pihak yang menahan si pelaku untuk mengekstradisi si pelaku atau menyerahkan kasusnya untuk dituntut secara hukum
  3. Mengharuskan pihak-pihak untuk saling membantu sehubungan dengan presiding pidana yang dinyatakan dalam Konvensi
H. Protocol for the Suppression of Unlawful Acts of Violence it Airports Serving International Civil Aviation (Protokol untuk Meredam Tindakan Melawan Hukum yang Menyangkut Kekerasan di Bandara yang Melayani Penerbangan Sipil Internasional) (disetujui pada 2 / 88 — memperluas dan melengkapi Konvensi Montreal) :
Memperluas provisi Konvensi Montreal (lihat No. 3 di atas) untuk mencakup aksi teror di bandara yang melayani penerbangan sipil internasional.
I. Convention for the Suppression of Unlawful Acts Against the Safety of Maritime Navigation (Konvensi untuk Meredam Tindakan Melawan Hukum yang Menyangkut Keselamatan Navigasi Maritim), (disetujui pada 3 / 88 — berlaku untuk aksi teror di atas kapal) :
  1. Menetapkan prosedur hukum yang bisa diberlakukan pada tindakan terhadap navigasi maritim intemasional yang serupa dengan prosedur hukum yang ditetapkan untuk penerbangan intemasional
  2. Termasuk pelanggaran jika ada orang yang secara melawan hukum dan secara sengaja merampas atau mengambil alih kontrol atas sebuah kapal dengan kekerasan, ancaman, atau intimidasi; melakukan tindakan kekerasan terhadap orang di atas kapal jika tindakan itu cenderung membahayakan keselamatan navigasi kapal; meletakan alat atau bahan yang bisa merusak di atas kapal; dan tindakan lain yang membahayakan keselamalan kapal
  3. Mengharuskan pihak-pihak yang menahan si pelaku untuk mengekstradisi si pelaku atau menyerahkan kasusnya untuk dituntut secara hokum
  4. Mengharuskan pihak-pihak untuk saling membantu sehubungan dengan prosiding pidana yang dinyatakan dalam Konvensi
J. Protocol for the Suppression of Unlawful Acts Against the Safety of Fixed Platforms Located on the Continental Shelf (Protokol untuk Meredam Tindakan Melawan Hukum yang Menyangkut Keselamatan Platform Tetap yang Berlokasi di Dasar Benua) (disetujui pada 3 / 88 — berlaku untuk aksi teror di platform tetap di lepas pantai) :
  1. Menetapkan prosedur hukum yang bisa diberlakukan pada tindakan terhadap platform tetap di dasar benua yang serupa dengan prosedur hukum yang ditetapkan untuk penerbangan intemasional
  2. Mengharuskan pihak-pihak yang menahan si pelaku untuk mengekstradisi si pelaku atau menyerahkan kasusnya untuk dituntut secara hukum
  3. Mengharuskan pihak-pihak untuk saling membantu sehubungan dengan prosiding pidana yang dinyatakan dalam Protokol
K. Convention on the Marking of Plastic Explosives for the Purpose of Identification ( Konvensi tentang Menandai Bahan Peledak Plastik untuk Maksud Identifikasi ) (disetujui pada 3 / 91 —dimaksudkan untuk penandaan secara kimia untuk memudahkan mendeteksi bahan peledak plastik, mis. untuk memerangi sabotase pesawat udara): (Terdiri atas dua bagian: Konvensi itu sendiri, dan Lampiran Teknis yang merupakan bagian terpadu dari Konvensi) :
  1. Dirancang untuk mengawasi dan membatasi penggunaan bahan peledak plastik yang tidak ditandai dan tidak terdeteksi (dibicarakan setelah kejadian serangan bom pada Pan Am 103)
  2. Pihak-pihak wajib dalam wilayahnya masing-masing untuk rnenjamin pengawasan efektif terhadap bahan peledak ‘tidak bertanda’, yakni bahan peledak yang tidak mengandung salah satu dari zat pendeteksi yang diuraikan dalam Lampiran Teknis
  3. Pada dasamya, setiap pihak harus, antara lain: mengambil tindakan yang diperlukan dan efektif untuk melarang dan mencegah produksi bahan peledak tidak bertanda; mengambil tindakan yang diperlukan dan efektif untuk melarang dan mencegah pemindahan bahan peledak tidak bertanda ke dalam atau keluar dari wilayahnya; mengambil tindakan yang diperlukan untuk melaksanakan pengawasan yang ketat dan efektif dalam hal pemilikan dan transfer bahan peledak tidak bertanda yang dibuat atau diimpor sebelum pemberlakuan konvensi; mengambil tindakan yang diperlukan untuk menjamin bahwa semua persediaan bahan peledak tidak bertanda tersebut yang tidak disimpan oleh militer atau polisi dihancurkan atau digunakan, ditandai, atau dibuat menjadi tidak efektif secara permanen dalam waktu tiga tahun; mengambil tindakan yang diperlukan untuk menjamin bahwa bahan peledak tidak bertanda disimpan oleh militer atau polisi dihancurkan atau digunakan, ditandai, atau dibuat menjadi tidak efektif secara permanen dalam waktu lima belas tahun; dan mengambil tindakan yang diperlukan untuk menjamin penghancuran, secepat mungkin, hahan peledak tidak bertanda yang diproduksi setelah tanggal pemberlakuan konvensi untuk negara tersebut
  4. Tidak menciptakan sendiri pelanggaran baru yang bisa mengharuskan dilakukannya pemidanaan atau prosedur ekstradisi, meskipun semua negara diharuskan menjamin bahwa provisi ini dipatuhi di dalam wilayahnya
L. International Convention for the Suppression of Terrorist Bombing (Konvensi Intemasional untuk Meredam Serangan Bom Teror) (disetujui pada 12 / 97 — meluaskan kerangka hukum untuk kerja sama internasional dalam penyelidikan, pemidanaan, dan ekstradisi pelaku serangan bom teror) :
  1. Menciptakan prosedur untuk wilayah hukum universal tentang penggunaan secara melawan hukum dan dengan sengaja bahan peledak dan alat pembunuh lainnya di dalam, ke dalam, atau terhadap berbagai tempat umum tertentu dengan niat membunuh atau meyebabkan cedera tubuh yang parah, atau dengan niat menyebabkan kerusakan parah tempat umum
  2. Seperti beberapa konvensi terdahulu tentang orang yang dilindungi dan penyanderaan, mengharuskan pihak-pihak untuk mempidana, menurut hukum mereka sendiri, beberapa jenis tindak pidana tertentu, dan juga mengharuskan pihak-pihak untuk mengekstradisi atau menyerahkan untuk dipidana orang yang dituduh melakukan atau membantu melakukan tindak pidana tersebut
M. International Convention for the Suppression of Terrorist Financing (Konvensi Internasional untuk Meredam Pembiayaan Teror) (disetujui pada 12/99 menyediakan kerangka hukum untuk menyelidiki dan mempidana mereka yang terlibat dalam pemberian bantuan keuangan untuk terorisme) :
  1. Pihak-pihak negara dianjurkan untuk mempertimbangkan mengambil tindakan lebih lanjut, misalnya, untuk menyeiia semua badan yang melakukan pemindahan uang dan untuk mendeteksi atau memantau transfer uang kas yang melintasi perbatasan
  2. Kerja sama antara pihak-pihak negara dalam pencegahan pelanggaran harus dilakukan dengan pertukaran informasi dan berbagai tindakan administrasi dan tindakan lain yang, dikoordinasikan untuk memperbaiki kerja sama penyelidikan
  3. Ditetapkan bahwa pihak-pihak negara dapat bertukar informasi melalui International Criminal Police Organization (Interpol) (Organisasi Polisi Kriminal Intemasional)
Konvensi meminta pihak-pihak negara mengambil tindakan untuk melarang kegiatan ilegal di wilayahnya yang dilakukan oleh orang atau organisasi yang secara sadar menganjurkan, memprakarsai, mengorganisasi atau melakukan aksi teror.
N. United Nations Convention against Transnational Organized Crime (Konvensi PBB Tentang Kejahatan Terorganisasi Transnasional) Tahun 2000 di Palermo, Sisillia, Italia dalam pertemuan selama 3 (tiga) hari tersebut, perwakilan dari 124 negara termasuk Indonesia telah menandatangani Konvensi tersebut. Negara-negara penandatangan berkomitmen untuk mengkriminalisasi pencucian uang (money laundering), korupsi (corruption) dan pengrusakan terhadap keadilan (obstruction of justice). Kemudian terdapat 3 (tiga) protokol pendukung dalam pemberantasan penyelundupan migrant / manusia dan perdagangan anak / perempuan, serta pembuatan dan penyelundupan senjata api secara illegal.
O. Resolusi Majelis Umum PBB No.A / Res / 56 / 1 tanggal 12 September 2001 tentang Serangan Terorisme terhadap WTC dan Pentagon.
P. Resolusi Dewan Keamanan PBB No.1373 tahun 2001 tentang Pemberantasan Pendanaan Tindak Pidana Terorisme.
Q. Resolusi Dewan Keamanan PBB NO.1438 tanggal 14 Oktober 2002 tentang Peristiwa Bom Bali.
Semua konvensi ini dimaksudkan untuk meredam aksi teror intemasional (meskipun tidak didefiniskan sebagai hal tersebut) dengan menetapkan kerangka untuk kerja sama intemasional antar-negara. Konvensi tentang orang yang dilindungi, misalnya, mengharuskan negara yang meratifikasinya untuk: “Bekerja sama untuk mencegah, di dalam wilayahnya, persiapan serangan terhadap orang yang dilindungi secara internasional di dalam atau di luar wilayah mereka; dan bertukar informasi dan mengkoordinasikan tindakan administrasi dan tindakan lainnya terhadap serangan tersebut.

2. Sumber Hukum Nasional
Serangan terorisme di Bali merupakan aksi nyata yang mengharuskan Pemerintah Indonesia untuk mengambil langkah-langkah konkret untuk memerangi terorisme secara terpadu, konseptual, sistematis, dan menggunakan pendekatan yang komprehensif. Hal ini setidaknya ditunjukkan dengan dikeluarkannya :

  1. Perpu No. 1 / 2002, Perpu No. 2 / 2002 yang kemudian disahkan menjadi UU No. 15 / 2003 dan UU no. 16 / 2002
  2. Inpres No. 4 / 2002 yang memberikan mandat kepada Menkopolkam untuk merumuskan kebijakan nasional dalam perang melawan terorisme
  3. Ratifikasi dua konvensi internasional soal pemberantasan terorisme, yaitu Konvensi Internasional Pemberantasan Pengeboman oleh Teroris Tahun 1997 (International Convention for Suppression of Terrorist Bombings 1997) dan Konvensi Internasional Pemberantasan Pendanaan Terorisme Tahun 1999 (International Convention of the Suppression of the Financing of Terrorist 1999)
Disamping langkah-langkah yang telah diambil diatas, untuk mencegah kejahatan terorisme tentu diperlukan kesiapan dari aspek hukum secara nasional, aspek kelembagaan maupun aspek pranata sosial. Hal ini menjadi penting karena semua aspek di atas sangat mempengaruhi dalam mencegah kejahatan terorisme.

Sumber: definisi-pengertian.com