Setelah istirahat untuk sholat dan maka siang, dialog pencegahan paham ISIS di kalangan kyai langgar kembali dilanjutkan. Pada sesi ini hadir sebagai narasumber adalah Ikhwanul Kirom, Prof. Dr. K.H. Halim Soebahar, MA. Prof. Babun Suharto, dan Abdurrahman Ayub, mantan teroris yang telah menyatakan bertaubat dan kembali kepada NKRI. Pada dialog ini, ust Abdurrahman Ayub tampil sebagai pembicara pertama.
Beliau memulai pemaparannya dengan bercerita sepak terjangnya selama menjadi ‘anak bandel’ di Jamaah Islamiyah. Para peserta begitu antusias mengikuti setiap penjelasan yang beliau sampaikan, hal ini diebabkan oleh keluwesan beliau dalam membredel ajaran-ajaran yang disebar oleh kelompok radikal terorisme.
Mantan ketua mantiqi 4 jamaah islamiyah ini menjelaskan bahwa kelompok radikal menggunakan ayat dan hadist yang sudah dipelintir, sehingga pesan utama dari ajaran agama tidak tersampaikan. Beliau juga menyatakan bahwa anggapan yang mengira bahwa teroris adalah sekumpulan orang bodoh dan miskin sangat salah. Teroris bukan orang bodoh, bukan pula orang miskin, jelasnya. Umar patek misalnya, dia adalah orang yang pinter, Dr azhari juga cerdas, dia adalah seorang ahli kimia dan mengajar di Universitas. Sementara Osama bin Laden adalah orang kaya. Karenanya terorisme bisa berbahay karena berisi orang-orang yang pintar dan kaya.
“yang bodoh itu ya cuma yang mau melakukan bom bunuh diri” sambungnya, yang langsung disambut tepuk tangan meriah dari ratusan peserta yang masih antusias mengikuti dialog. Laki-laki yang pernah menjadi guru bagi Imam Samudra dan Umar Patek ini, kini muncul kelompok terrorism baru yang lebih berbahaya daripada jamaah Islamiyah, kelompok tersebut adalah ISIS. Kelompok teroris pimpinan Abu Bakar al Baghdadi ini berbahaya karena mereka sangat berlebihan dan tidak mengenal aturan. “Kalau dulu saya di JI, kami memiliki panduan untuk peperangan dan pengeboman, sehingga kami tidak ngawur, tetapi ISIS ini tidak pakai aturan sama sekali”, tuturnya. Namun, ada lagi yang lebih berbahaya, yakni anggota JI yang bergabung dengan ISIS.
Beliau juga menyatakan bahwa selama ini memang belum ada orang NU yang jadi teroris, “tetapi kita tidak boleh santai. Karena terorisme sudah masuk dunia maya, baiat bisa dilakukan secara online”, imbuhnya. Karenanya beliau menghimbau para peserta untuk mengawasi anak-anaknya, terutama yang berusia muda. “Awasi mereka belajar agama dimana, dengan siapa, dst. Jangan sampai mereka mengalami nasib seperti saya dulu,” tutupnya.
Sesi dialog kemudian dilanjutkan dengan pemaparan yang disampaikan oleh Prof. Dr. babun Suharto. Beliau menyampaikan bahwa radikalisme muncul lantaran kecenderungan untuk memahami ayat atau hadist secara sepotong-sepotong. Tidak cukup sampai di situ, mereka juga hanya memilih ayat-ayat yang mengarahakan pada permusuhan dan peperangan; ayat-ayat yang damai tidak pernah dipelajari.
Mantan ketua Anshor ini lantas memperingatkan untuk tidak mudah tergiur oleh orang-orang yang pintar, karena ada kalanya orang yang pintar justru menyesatkan. Ia bercerita tentang kisah seorang supir taksi dan penumpang. Suatu ketika, ceritanya, datang seorang laki-laki berjenggot panjang dengan mengenakan jubbah. Laki-laki itu meminta si supir untuk mengantarnya ke salah satu hotel. Di dalam taksi, si supir menyalakan musik, namun si penumpang langsung menegurnya dan meminta agar musiknya dimatikan, menurutnya musik adalah bid’ah, karena tidak ada di jaman rasul.
Mengetahui bahwa penumpangnya begitu takut pada bid’ah, si supir taksi mengira bahwa penumpangnya sangat mencintai rasul, supir taksi lantas mengganti musiknya dan memutar lagu-lagu sholawat, tapi ternyata si penumpang tetap memintanya mematikan musik dengan alasan yang sama. Si supir yang mulai habis kesabarannya lantas menghentikan taksi dan meminta si penumpang untuk turun sambil berkata, “kalau begitu, naik taksi juga bid’ah, karena di jaman Rasul dulu tidak ada taksi. Silahkan bapak turun dan naik unta saja”.
Beliau lantas menjelaskan bahwa cerita di atas menunjukkan betapa ada banyak orang pinter tetapi malah keblinger. Karenanya Beliau menekankan pentingnya belajar agama secara lengkap, tidak sepotong-potong.
Sementara Prof Halim yang tampil sebagai pembicara ketiga menekankan pentingnya mewaspadai gerakan radikalisme. Menurutnya, paham radikal sudah mulai masuk Jawa Timur, khususnya wilayah Besuki. Ajaran radikalisme, menurutnya, menekankan pada tiga titik utama, yakni; memaknai Indonesia sebagai Negara kafir, pejabat dan pemimpinnya kafir, dan masyarakatnya tersesat karena masih patuh pada NKRI.
Beliau menyebut nama Kyai Gatot Kusuma Wardani sebagai salah satu aktor yang berada di balik penyebaran ajaran tersebut. Prof Halim kebetulan pernah mengawal kasus ini sebagai saksi ahli. Ia menuturkan bahwa ternyata kyai ini tidak bisa ngaji. Sungguh ironi, karena orang yang dijadikan kyai meskipun ternyata tidak bisa ngaji ini memiliki ratusan pengikut yang tersebar di beberapa kota di Jawa Timur.
Saat ini, penyebaran radikalisme mulai marak dilakukan melalui media online. Anak muda, yang merupakan pengguna aktif media online, menjadi sasaran empuk bagi penyebaran paham ini, karenanya jihad untuk melawan radikalisme saat ini adalah dengan melakukan dakwah di media sosial.